Selasa, 07 Desember 2010

Tahun Baru

Add caption


Add caption



Hari ini telah berlalu tanggal 1 Muharram 1432 Hijriah yang berarti telah masuk kepada tanggal 2 Muharram 1432 Hijriah. Hari perdana terlewat menjadi titik balik perbaikan dan perubahan yang lebih baik lagi. Semoga ini menjadi awal yang lebih baik bagi kita semua...

Selamat tahun baru 1432 Hijriah


Bismillahirrohmaanirrohiimi...
Dengan menyebut nama Allah kita awali tahun ini untuk mengharap kebaikan, barokah dan ridho dari Allah.. Jalan kita masihlah sangat panjang. Pangkalnya telah jauh kita tinggalkan dan ujungnya jua belum tiba. Bersama Allah insya Allah kita pasti kuat menghadapi segala halang dan rintangan apapun juga. Yakinlah pada pertolongan Allah.



Barakallah...
 
Semoga Al Quran dan Hadist juga selalu menjadi bahan renungan bagi kita untuk bekal hidup di dunia menuju akhirat. Tak lupa jua keduanya menjadi pegangan sepanjang perjalanan yang penuh akan onak dan duri ini.


Satu-satunya tujuan kita.


Suri teladan, pujaan dan idola sepanjang hidup kita.


Dengan cinta ana sampaikan kepada semuanya...

Bandar Lampung,
2 Muharram 1432 H / 7 Desember 2010 M
( Hajri Yansyah )
081379745282 / 081977969578
dr.hajri5@yahoo.co.uk / dr.hajri5@gmail.com



LANGUAGE's

Add caption


Bismillaahirrohmaanirrohiimi...

Laa tahzan...
Innallaaha Ma'ana...
(Q.S. At Taubah: 40)

Janganlah bersedih wahai manusia. Pertolongan Allah itu akan datang dari arah yang tiada dapat kita duga. Tiada pula ia dapat kita perhitungkan waktunya. Tapi yakinlah bahwa pertolongan itu sangat dekat dengan kita.

Permasalahan yang ingin diungkap adalah tentang komunikasi. Lagi-lagi komunikasi. Kalau ada teman dari Jurusan Komunikasi pasti menyela nih kayaknya. Tapi, apa hendak dikata? Memang begitulah adanya.

Kita manusia adalah makhluk individual yang sangat memetingkan diri sendiri, tapi kita juga tidak lupa bahwa kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. So, dalam kehidupan sehari-hari, acap kali kita berinteraksi dengan banyak orang dan bercakap-cakap dengan bahasa kita yang dapat membuat kita saling mengerti satu sama lain.

Saudaraku...
Bahasa adalah alat komunikasi verbal yang membuat kita bisa saling mengerti ketika bercakap-cakap. Ada beragam bahasa yang dapat kita gunakan, bahkan sering kita gunakan. Apalagi negeri kita yang kaya ini. Salah satu kekayaan negeri kita adalah kaya akan budaya dan bahasa. Ada begitu banyak etnis yang diakui dan hidup berdampingan, bahkan berbeda dalam hal keyakinan. Pun dalam bahasa, ada begitu banyak bahasa yang berasal dari daerah-daerah yang ada di bumi pertiwi ini. Mulai dari Tanah Rencong sampai ke Bumi Ruwa Jurai, mulai dari Kulon sampai ke Madura, mulai dari Balik Papan sampai ke Banjarmasin, bahkan sampai ke ujung Papua sana. Kata yang telah akrab di telingan kita adalah dari Sabang sampai Merauke. Itulah Indonesia.

Bahasa tidak lantas menjadi pemecah belah persatuan, tapi justru menjadi pemersatu. Semboyan bangsa kita yang dari dulu kita kenal "Bhineka Tunggal Eka" yang maksudnya adalah "Walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua". Kita dipersatukan dengan satu bahasa yang didengungkan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, yaitu Bahasa Indonesia.

Begitu mudahnya kita bercakap-cakap ketika Bahasa Indonesia ini menjadi bahasa pergaulan kita sehari-hari. Bisa dibayangkan jika kita tidak mengetahuinya, bagaimana mungkin orang Lampung bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang Aceh, Medan, Sunda, Jawa, Bali, Makasar, Ternate dan Papua, serta yang lainnya. Terhambat, sangat terhambat pastinya. Anugerah Allah semua ini duhai saudaraku.

Everything you are, (ah... takut salah saya berbahasa...)
Apapun itu maksud saya adalah komunikasi sangatlah penting bagi kita semua.

Saudaraku...
Berbagai macam bahasa telah menjadi jembatan komunikasi kita. Pun Bahasa Indonesia jua telah mempersatukan kita. Tapi ternyata ada bahasa lain yang tak kalah berperan dalam interaksi kita sehari-hari. Apa itu? Bahasa jiwa... Ya... Bahasa jiwa...

Kita bisa mengatakan saling mengerti dan memahami. Tapi, ternyata terkadang kita membohongi diri kita sendiri. Ya, walau pada satu kesempatan memang kita harus membohongi diri kita sendiri, tapi janganlah bahasa kita menjadi racun bagi orang lain.

Konkrit... Nampak sekali dalam bahasa percakapan melalui pesan singkat atau SMS (Short Message Service) yang sering sekali kita lakukan dalam keseharian kita. Mengirimi teman dengan bahasa singkat yang menurut kita mudah, padahal belum tentu buat orang lain. Dari sinilah perkara hati sering kali jadi carut marut tiada rupa.

Jelasnya lagi, yang bernama bahasa jiwa adalah anggapan kita atau apa yang kita rasakan tentang suatu hal. Kita menilai orang begini dan begitu tanpa asas praduga tak bersalah (opo lah le... le... ra ro aku...). Ya, sering kita menilai orang dari sisi pribadi kita tanpa melihat nyata yang ada pada diri orang yang bersangkutan. Akhirnya, apa yang terjadi, ya salah faham, ya pertengkaran, ya permusuhan, ya kebencian. Ah... jadi benci dengan orang lain jadinya. Inilah sebenarnya kata yang mengawali tulisan ini. Laa tahzan. Sedih rasanya mendapati permusuhan karena bahasa. Apalagi bahasa jiwa yang tiada semua orang dapat mengertikannya.

Saudaraku...
Sahabatku...
Sungguh tiadalah maksud pasti kita untuk saling membenci. Walau terkadang bahasa kita menyakitkan, tapi semua menjadi gurauan belaka hendaknya. Karenanya, alangkah baiknya jika kita menjaga lisan kita dari pada banyak bicara yang tiada maknanya, malah bisa membuat keruh keadaan. Prasangka kita, cukuplah jadi penyakit di hati kita saja. Jangan malah membuat sakit orang lainnya. Dan alangkah lebih baik lagi, jika prasangka itu, adalah prasangka yang baik saja yang ada di hati kita.

Batasan-batasan dalam pergaulan pun jangan dilupakan. Banyak hal terkadang muncul menjadi bumerang bagi kita yang bersumber dari diri pribadi kita. Mengira orang buruk, padahal kita belum tentu baik. Mengira orang menganggap kita buruk, padahal juga belum tentu orang seperti sangkaan kita. Mengira orang lebih baik, toh kita sendiri menjadi minder karenanya. Apalagi mengira orang mau berbuat jahat, menjauhi kita, meremehkan kita, atau apalah yang lebih tepat menurut yang lain. Sadarilah... Mulut kita adalah harimau yang tertidur kelaparan. Jadi jangan coba-coba membangunkannya dengan paksaan. Cukuplah kata-kata yang baik yang menjadi bahasa kita. Diam itu adalah emas. Dan emas itu mulia. Jadi muliakanlah diri kita sendiri laksana emas yang tak akan terganti.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw telah bersabda:
"Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya" (Hadist hasan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi).

Salah satu hal yang sia-sia di dunia adalah berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Banyaknya berkata-kata kadang menandakan kebodohan seseorang. Karenanya wahai saudara-saudaraku yang aku cinta karena Allah, jagalah diri kita dari api neraka. Sia-sia itu dekat kepada syaitan... Maka jauhilah... Mari kita saling mengingatkan selalu dalam kebaikan dan ketaatan.

Perkara lain, adalah bahasa pergaulan. Pergaulan kita dengan sesama terkadang juga terlampau jauh. Fenomena yang ada bahkan sampai menyukai sesama jenis. Laki-laki suka kepada laki-laki, pun perempuan suka pada jenisnya sendiri. Semua berawal dari kenyamanan. Kenyamanan karena lembut dan manisnya tutur kata yang diungkapkan lagi-lagi dengan bahasa. Nyaman rasanya dekat dengan seseorang, kemudian sampai berujung kepada uji coba hal-hal yang negatif yang akhirnya membuat kita tersesat di jalan yang benar-benar menyesatkan.

Persaudaraan dan cinta itu bukanlah terletak pada indahnya bahasa. Ust. Salim A Fillah mengatakan, "Janganlah kita kotori hati kita dengan cinta karena syahwat". Bukan berarti membunuh syahwat, tapi syahwat itu harus dijaga dan dijinakkan. "Cinta itu" katanya lagi "harus bervisi, bergairah, dengan nurani yang bersih, dan disiplin. Itulah jalan cintanya para pejuang-pejuang Allah"... Bukan cinta pada kesesatan. Apalah jadinya jika cinta pada saudara karena Islam telah membabi buta? Karena sedikit permasalahan menjadi pembuat perpecahan seolah dia telah menjadi barang milik pribadi yang harus selslu berada dalam genggaman. Na'udzubillaahi min dzalik... (Afwan jika salah menuliskan).

Akhirnya, saudaraku yang tali persaudaraannya diikatkan oleh Allah, mari kita mencinta karena Allah saja. Cinta itu milik Ar Rahmaan yang Ia berikan pada semua makhlukNya. Cinta itu milik Ar Rahiim yang Ia berikan pada umatNya. Pertanyaan terakhir, dimanakah cinta kita? Pada duniakah? Pada wanitakah? Pada hartakah? Pada manusiakah?

Add caption

Cukuplah Allah saja yang menjadi pemilik cinta kita... Ibrahim pun rela menyembelih buah hatinya yang sangat ia cinta karena cintanya pada Rabbnya. Itu salah satu teladan nyata bukti cinta yang sesungguhnya. Kisah lain mungkin adalah kisah Fatimah putri Rasulullah... Ia mencintai suaminya sebelum ia pantas mencintainya, sebaliknya suaminya (Ali r.a.) jua mencintai Fatimah sebelum ia pantas mencintainya, tapi cinta keduanya tiada terjamah oleh syaitan musuh manusia... Hingga akhirnya Fatimah dan Ali dipersatukan dalam ikatan yang sah dalam pernikahan.

Itulah ragam bahasa kita saudaraku. Di luar sana masih banyak sekali ragam bahasa lain yang bertebaran di sekeliling kita. Semoga kita termasuk orang yang terjaga lisan dan hatinya, sehingga setiap apa yang terucap dari lidah dan bibir kita, serta setiap apa yang terlaksana dalam tindakan kita hanyalah karena amalan ibadah kita kepada Allah.

Wallahu'alam...
Afwan minkum...








Di Tengah Aku dan Dia




Sebuah kisah tentang perbedaan...


Pada suatu waktu, ada seorang mahaguru (bukan cuma siswa yang ada maha-nya, tapi guru juga ada maha-nya...) yang ingin mengambil break dari kehidupannya sehari-hari sebagai akademisi. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke sebuah pantai dan meminta seorang nelayan untuk membawanya pergi melaut sampai ke horizon.

Seperempat perjalanan, mahaguru tersebut bertanya, "Wahai nelayan, apakah Anda mengenal ilmu geografi?" Sang nelayan menjawab, "ilmu geografi yang saya ketahui adalah kalau di laut sudah mulai sering ombak pasang, maka musim hujan segera akan tiba." "Nelayan bodoh!" kata mahaguru tersebut. "Tahukah kamu bahwa dengan tidak menguasai ilmu geografi kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu."

Seperempat perjalanan berikutnya, mahaguru tersebut bertanya pada nelayan apakah dia mempelajari ilmu biologi dan sains? Sang nelayan menjawab bahwa ilmu biologi yang dia kenal hanyalah mengetahui jenis ikan apa saja yang dapat dimakan. "Nelayan bodoh, dengan tidak menguasai sains kamu sudah kehilangan seperempat kehidupanmu." Kemudian mahaguru tersebut bercerita tentang Tuhan yang menciptakan umat manusia dengan struktur tubuh, kapasitas otak yang sama, dan lain-lain.

Selanjutnya mahaguru tersebut bertanya apakah nelayan tersebut mempelajari matematika? Sang nelayan menjawab bahwa matematika yang dia ketahui hanyalah bagaimana cara menimbang hasil tangkapannya, menghitung biaya yang sudah dikeluarkannya, dan menjual hasil tangkapannya agar dapat menghasilkan keuntungan secukupnya. Lagi-lagi mahaguru tersebut mengatakan betapa bodohnya sang nelayan dan dia sudah kehilangan lagi seperempat kehidupannya.

Kemudian, di perjalanan setelah jauh dari pantai dan mendekati horizon, mahaguru tersebut bertanya, "apa artinya awan hitam yang menggantung di langit?" "Topan badai akan segera datang, dan akan membuat lautan menjadi sangat berbahaya." Jawab sang nelayan. "Apakah bapak bisa berenang?" Tanya sang nelayan.

Ternyata sang mahaguru tersebut tidak bisa berenang. Sang nelayan kemudian berkata, "Saya boleh saja kehilangan tiga-perempat kehidupan saya dengan tidak mempelajari tiga subyek yang tadi diutarakan oleh mahaguru, tetapi mahaguru akan kehilangan seluruh kehidupan yang dimiliki." Kemudian nelayan tersebut meloncat dari perahu dan berenang ke pantai sedangkan mahaguru tersebut tenggelam.

Demikian juga dalam kehidupan kita, baik dalam pekerjaan ataupun pergaulan sehari-hari. Kadang-kadang kita meremehkan teman, anak buah ataupun sesama rekan kerja. Kalimat "tahu apa kamu" atau "si anu tidak tahu apa-apa" mungkin secara tidak sadar sering kita ungkapkan ketika sedang membahas sebuah permasalahan. Padahal, ada kalanya orang lain lebih mengetahui dan mempunyai kemampuan spesifik yang dapat mengatasi masalah yang timbul.

Seorang operator color mixing di pabrik tekstil atau cat mungkin lebih mengetahui hal-hal yang bersifat teknis daripada atasannya. Intinya, orang yang menggeluti bidangnya sehari-hari bisa dibilang memahami secara detail apa yang dia kerjakan dibandingkan orang 'luar' yang hanya tahu 'kulitnya' saja.

Mengenai kondisi dan kompetisi yang terjadi di pasar, pengetahuan seorang marketing manager mungkin akan kalah dibandingkan dengan seorang salesperson atau orang yang bergerak langsung di lapangan. Atau sebaliknya, kita sering menganggap remeh orang baru. Kita menganggap orang baru tersebut tidak mengetahui secara mendalam mengenai bisnis yang kita geluti. Padahal, orang baru tersebut mungkin saja membawa ide-ide baru yang dapat memberikan terobosan untuk kemajuan perusahaan.

Sayangnya, kadang kita dibutakan oleh ego, pengalaman, pangkat dan jabatan kita sehingga mungkin akan menganggap remeh orang lain yang pengalaman, posisi atau pendidikannya di bawah kita. Kita jarang bertanya pada bawahan kita. Atau pun kalau bertanya, hanya sekedar basa-basi, pendapat dan masukannya sering dianggap sebagai angin lalu. Padahal, kita tidak bisa bergantung pada kemampuan diri kita sendiri, kita membutuhkan orang lain. Keberhasilan kita tergantung pada keberhasilan orang lain. Begitu sebuah masalah muncul ke permukaan, kita tidak bisa mengatasinya dengan hanya mengandalkan kemampuan yang kita miliki. Kita harus menggabungkan kemampuan kita dengan orang lain. Sehingga bila perahu kita tenggelam, kita masih akan ditolong oleh orang lain yang kita hargai kemampuannya. Tidak seperti mahaguru yang akhirnya ditinggalkan di perahu yang sedang dilanda topan badai dan dibiarkan mati tenggelam karena tidak menghargai kemampuan nelayan yang membawanya.

Yang jadi pertanyaan kita sekarang, apakah kita masih suka bertingkah laku seperti sang mahaguru? Bila ya, seberapa sering?

Akhirnya, semoga kita bisa menjadi lebih baik lagi dan berusaha untuk selalu memperbaiki diri dalam kehidupan. Jalan ini masihlah panjang...