Sabtu, 03 Desember 2011

Dokter Diana (Part 2)



Sang Pangeran


Mentari bersinar cerah menyambut paginya yang ceria. Rasa di hatinya begitu gembira hari ini. Entahlah kenapa. Yang jelas ia berharap hari ini akan berlalu dengan indah. Dia masih asyik menikmati rona-rona jingga di ufuk timur yang terpancar dari sang surya. Hangat, menghangatkan kalbunya. Ia rentangkan kedua lengan menghadap sang surya seraya memejamkan matanya untuk lebih merasakan sejuknya embun yang perlahan hilang diterpa sinaran lembut mentari, seolah tak ingin saat indah ini segera pergi.

Diana's animation (Adopted from Kawan Imut)
“Ups, aku hampir lupa berdoa atas keindahan yang kurasakan ini”, tersentak ia dalam hati. “Tuhan, andai saat indah ini akan segera berakhir, izinkan aku agar dapat mensyukurinya selalu dan jangan Engkau buat aku lalai atas nikmat-nikmat yang Engkau berikan padaku”.

Itulah Diana. Sosok seorang wanita periang dan bersahaja. Seorang dokter yang masih sangat muda usianya. Lembut hatinya, tutur katanya sopan, penyayang, dan suka menolong sesama. Andaikan seorang lelaki memandangnya sepintas saja, pasti ia akan terpesona akan keelokkan rupanya. Wajahnya yang cantik ditambah dengan dua lesung pipinya, menambah rupawan saat ia tersenyum dan tertawa. Terlebih dengan keahliannya memadukan warna-warni gaun indah yang senantiasa menutupi auratnya, sungguh sempurnalah rupanya. Belum lagi jika memandang jauh ke dalam kalbunya, mungkin dialah sosok wanita sholehah idaman ikhwan sepanjang zaman. Subhanallah. Hanya Allah yang Maha Sempurna.

Diana masih di tempatnya. Ia seakan memeluk mentari dengan kedua lengannya. Mentari yang cerah semakin mencerahkan kalbunya. Wajahnya merona di bawah sinar mentari yang jatuh di wajahnya. Semilir angin yang meniup jilbabnya yang terurai panjang membuatnya semakin asyik menikmati pagi itu.

“Assalamu’alaikum Bu Dokter...”, sebuah sapaan mengagetkannya yang sedang asyik menikmati sinar mentari setelah olah raga pagi.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh...”, jawabnya dengan suara yang semakin pelan pada ujung kalimatnya. “Eh, Teteh... Habis olah raga Teh?”.

“Ia Din, habis lari-lari sedikit. Pan katanya biar sehat, harus rajin olah raga”, jawab Shinta sembari menghampiri Diana dan cipika-cipiki.

“Afwan, sedikit bau bajunya, belum mandi”, ungkap Diana singkat.

“Sami mawon atuh Din, belum mandi juga nih...”, balas Shinta. Mereka pun tersenyum menikmati gurauannya.

“Iya tuh, biar sehat, ya harus rajin olah raga, di samping mencukupi kebutuhan makanannya”, jelas Diana.
 
Diana memang telah akrab dengan Shinta sejak pertama kali datang ke Bengkulu. Tepatnya di Manna. Disana Diana mengabdikan diri di Puskesmas induk yang membawahi lebih dari 20 Puskesdes, Pustu, dan Posyandu. Sudah hampir satu tahun ia berada disana sejak kelulusannya. Disana ia sudah dianggap seperti bagian dari keluarga besar Shinta. Sering keduanya bermalam bersama di salah satu tempat tinggal mereka. Terkadang di rumah Shinta, terkadang di rumah dinas Diana. Mereka sudah seperti saudara kembar saja. Dari rupa, memang Diana sedikit lebih dari Shinta, tapi akhlak keduanya sangatlah memikat hati siapa pun yang bersua dengan mereka. Rupa nan elok dihiasi dengan akhlak yang mulia. Andai semua insan bernama laki-laki dapat memilih sesukanya, maka pasti gadis seperti merekalah yang dicari-cari.

“Din, Teteh nanya boleh ya? Ya?...”, Shinta sedikit memaksa dengan ekspresinya yang agak centil.

“Emh, boleh nggak ya?...”, Diana menjawab dengan senyum dan seolah butuh pertimbangan panjang.

“Iiiihhh... Dina jahat...”, ulah Shinta dengan menggelitiki Diana. Mereka tertawa dan berlarian.

“Iya... Iya... Boleh dong sayang... Apa sih yang nggak buat saudariku nan cantik jelita ini? Mau nanya apa?”, Diana menenangkan.

“Terima kasih... Teteh kan memang paling cantik sejagat raya. Dina kan tau itu, ya kan adikku sayang”, timpal Shinta.

“Iya deh...”, Diana memuji Shinta.

“Kapan pulang ke Lampung?...”, tanya Shinta.

“Kenapa nanya gitu?... Ngusir yah?... Iya deh, besok saya pulang, nggak balik-balik lagi kesini”, Diana ketus.

“Ya nggak donk sayang... Teteh mau ikut... Boleh yah?”, Shinta merayu.

“Emh...”, Seolah bingung.

“Terima kasih honey... Dina emang baik”, Shinta seolah terkesan.

“Belum juga dijawab. Udah seneng aje...”, ketus dengan sikap Shinta.

“Tapi boleh kan?...”, pinta Shinta. “Gini lho honey, ada yang belum Teteh ceritain. Mau tau nggak? Kalo mau tau, segera agendakan pulang ke Lampung, biar Teteh ikut yah...”.

“Iya Teh, janji deh... Dua minggu lagi mau pulang dulu. Kangen sama Abi dan adik-adik. Kebetulan udah janjian pulang semua. Sekalian liburan sama Abi. Abi milad ceritanya. Makanya kita pada mau pulkam, Teh”, jelas Diana.

“Nah, gitu dong... Teteh boleh ikut kan?...”, Shinta merayu lagi.

“Iya... iya... Ya udah, tapi cerita apaan yang mau Teteh ceritain?...” Diana penasaran.

“Ya sabar dong sayang... Hemh... Beginilah kisahnya hidup Din. Kita harus ikhlas menerima setiap suratan yang Ia tuliskan untuk jalan kehidupan kita. Kemarin kita bertemu, sekarang kita bercanda, boleh jadi esok kita terpisah jauh. Tapi, ya inilah kehidupan kita. Cerita panjang yang ujungnya tak tau ada dimana”, cerita Shinta lirih.

“Ahh... Kok bilang gitu sih, Teh... Bikin sedih aja. Kenapa emangnya? Ada yang salah?...”, Diana penasaran dengan cerita Shinta.

“Nggak ada apa-apa kok. Teteh cumma membayangkan kalau esok nanti kita sudah menjalani kehidupan kita masing-masing. Ada potongan kisah lucunya, ada sedihnya, ada bahagianya, ada berantemnya, ada cowok gantengnya, ada nangis-nangisan, ada curhat-curahatan, dan ada banyak lagi kisahnya. Indah yah...”, Shinta melanjutkan.

Diana hanya tertegun meresapi setiap kata-kata Shinta yang syarat makna,”Hemh...”.

“Hari ini, Teteh mau cerita sama Dina kalo Teteh bentar lagi mau nikah...”, Shinta berseru.

“Apa?... Nikah Teh?...”, Diana terkejut.

“Iya sayang... Tiga hari lagi Teteh akan dilamar...”, Jelas Shinta seraya memegang kedua pipi Diana yang telah basah oleh air mata bahagianya. “Jangan nagis dong, ntar lagi Dina juga nyusul kan...”.

“Dina seneng, Teh. Seneng banget. Akhirnya Teteh bertemu dengan jodohnya Teteh. Barakallah ya Teh... Afwan air matanya ngalir  terus...”, Diana mengahiri kata-katanya.

“Aamiin... Syukron... Teteh doain agar Dina segera bertemu pangerannya. Pangeran berkuda putih yang kan membawa Dina pergi jauh mengarungi samudra terindah kehidupan di dunia fana ini”, Shinta menenangkan.

“Aamiin...  Iya Teh... Afwan”, Diana terharu dalam dekapan Shinta.

Mereka berdua masih terhanyut dalam lautan kebahagian pagi itu di bawah sinaran mentari. Menguntai kisah di pagi hari ahad yang ceria. Waktu pun berlalu beranjak siang. Tak lama mereka di taman bergegas ke belakang rumah. Kala itu, bertepatan dengan sebuah mobil Jip berwarna biru gelap di jalan depan rumah Diana. Mobil itu berjalan perlahan dan berhenti tepat dua rumah di samping rumah dinas Diana. Karena penasaran, keduanya sempat memperhatikan dua orang pemuda yang keluar dari mobil itu dan masuk ke dalam rumah. Sekilas Shinta mengenal sosok mereka, namun mereka lebih tertarik pada kesibukkan mereka menjelang siang, mereka pun berlalu dari sapaan mentari yang menghangatkan itu.

*******

Waktu telah menunjukkan tepat pukul 8.30 pagi pada jam dinding di kediaman Diana. Hari Minggu ini, dua sejoli, Diana dan Shinta akan pergi ke pusat kota untuk membeli beberapa kebutuhan harian mereka sekaligus membeli bahan untuk persiapan menyambut hari lamaran. Shinta telah datang sejak 5 menit yang lalu, namun, setelah membuka dompetnya, ternyata Shinta terlupa memasukkan uang yang telah ia siapkan untuk belanja. Akhirnya mereka memutuskan untuk mampir kembali ke rumah Shinta. Motor mio putih hitam berhias warna ungu telah siap menemani mereka menembus jalan panjang 40 Km menuju pusat kota.

Setelah penyelesaikan keperluan di rumah Shinta, mereka berdua segera bersiap melanjutkan perjalanan. Tak lupa ibunda Shinta mengingatkan dari beranda rumah agar kami berhati-hati di perjalanan dan meneliti semua keperluan saat belanja. Diana menuntun motor mionya keluar pekarangan. Sambil melangkah menuju luar pekarangan, mereka masih saja asyik bercanda ria. Setibanya di depan pagar dan mereka siap mengarungi perjalanan, tiba-tiba saja ada suara yang memanggil dari belakang. Mereka pun melongok dan memperhatikan ke belakang.

“Dank Putra... Dank Fajar...”, Shinta mengira-ngira.

Mereka pun mengobrol akhirnya, tentunya dengan khas bahasa Bengkulu.

“Mau kemana Ta?”, Putra menyapa Shinta.

“Bener Dank Putra... Dank Fajar... Apa kabar Dank? Baru sampai disini?”, tanya Shinta.

“Iya... Alhamdulillah sehat. Baru tadi pagi sampai sini. Semalam kami di tempat Deffi di Simpang. Kamu gimana kabar?” Putra balik bertanya.

“Alhamdulillah sehat. Ini mau ke kota. Ada perlu sedikit. Mau belanja. Gimana kabar Dank Deffi?, Sinta memastikan kabar teman dekat Putra dan Fajar yang juga telah ia kenal.

“Alhamdulillah sehat dia. Tadi titip salam dari Deffi sama istrinya”, jelas Putra.

“Ini dari mana? Dari rumah dank Yayan?”, kambali Shinta bertanya.

“Iya, dari rumah Dank Yayan. Nggak enak nggak mampir dulu”, jelas Putra.

“Lama Dank Fajar nggak kesini ya Dank... Jadi sadar kalau Shinta kangen sama Dank. Tambah ganteng aja Dank Fajar...”, Shinta menyapa Fajar.

“Ah... Bisa aja kamu Ta. Iya, Dank juga kangen sama keluarga disini. Udah dua tahunan sejak pertama Dank kesini ya... Gimana bapak sama ibu sehat?, Fajar mencoba akrab kembali dengan Shinta. Suaranya yang lembut dan sedikit berat menambah aura kewibawaannya.

“Alhamdulillah sehat Dank. Ada ibu di atas, kalau bapak udah pergi tadi. Mau ke tempat paman katanya. Dank berdua menjomblo nih kesini?”, jawab Shinta singkat.

“Bisa aja kamu Ta”, jawab Fajar. Mereka pun tertawa.

Putra - Fajar - Yayan
Shinta tampak asyik menyapa Putra yang baru saja tiba bersama Fajar. Putra adalah saudara sepupu dari Shinta. Begitu juga Yayan. Tepatnya, orang tua mereka bersaudara kandung. Tak salah jika Shinta begitu senang melihat sepupunya itu datang. Mereka sudah hampir 1 tahun tidak bertemu. Selama ini, Putra dan Yayan bekerja di Palembang, sehingga jarang pulang. Sedangkan Fajar, dia adalah teman dekat Putra ketika dulu menempuh pendidikan dinas di rumah sakit. Putra dan Yayan berprofesi sebagai perawat sedangkan Fajar adalah seorang dokter.

Asyik menikmati obrolan, ternyata ada yang terlupa. Di samping Shinta ada seseorang yang diam tertunduk malu tanpa berani menatap wajah orang-orang di hadapannya. Menyadari telah melupakan itu, Shinta membuka kata untuk memperkenalkan Diana.

“Eh, maaf lupa... Ini kenalin Dank. Ini Diana, temen Shinta. Din, ini Dank Putra, sepupu Teteh yang pernah Teteh ceritain waktu itu. Nah, kalau yang ini... Mau dikenalin nggak Dank Fajar?”, Shinta menggoda Fajar dengan kata-katanya yang sedikit manja karena sebelumnya saat Fajar berkunjung ke Manna, mereka memang telah akrab.

Diana menelungkupkan kedua telapak tangannya di depan dada untuk menyapa Putra dan Fajar. Sedikit memandang ke arah orang yang bernama Fajar, entah mengapa hati Diana sedikit berdetak dan berdegup kencang. Diana hanya menunduk dan berkata seadanya, berusaha untuk menguasai diri. Namun, tanpa bisa dikuasai hatinya bertanya mengapa sosok lelaki ini nampak begitu spesial di matanya.

“Astaghfirullah... Ya Allah, kuatkan aku untuk menjaga hati ini hanya karenaMu”, doa Diana dalam hati.

Begitu juga Putra dan Fajar. Mereka menelungkupkan kedua tangan di depan dada untuk menyapa Diana. Tanpa diketahui masing-masing, ternyata Fajar juga merasakan hal yang sama. Terselip rasa bahagia bisa bertemu gadis semanis Diana, namun ia juga tak berani menunjukkan ekspresinya berlebihan. Ia hanya menunduk dan sesekali memandang saat bicara. Mencoba menguasai suasana agar tidak terlihat gugup.

“Astaghfirullah... Mengapa hati ini begitu bergejolak? Tenangkanlah aku ya Allah. Hanya Engkau sebaik-baik tempat berteduh badai godaan setan yang menyesatkan hati”, Fajar mencoba menenangkan diri.

“Eh, masuk dulu aja Dank. Ketemu ibu dulu”, ajak Shinta.

“Iya, rencananya begitu tadi”, tegas Fajar.

“Tapi, kalian nggak jadi pergi?”, tanya Putra.

“Ah bentar lagi aja. Nggak enak ninggalin tamu yang baru dateng”, canda Shinta seraya menarik Diana masuk ke dalam rumah.

“Ya udah, gimana kalau bareng aja?”, ajak Putra.

“Loh, emang Dank mau ke kota juga? Kan baru sampai juga disini? Nggak capek Dank?”, Diana mencoba mencairkan suasana agar terlihat lebih akrab dengan sepupu Shinta dan sahabatnya itu.

“Iya, ada yang mau dicari juga”, jelas Putra.

“Ya udah, yang penting masuk dulu. Ayo...”, Shinta kembali menarik lengan Diana untuk masuk lebih dahulu. “Ibu... Bu... Ada dank Putra sama dank Fajar Bu”.

Mereka masuk ke dalam rumah Shinta. Rumah bernuansa pedesaan dengan bangunan dari kayu dan papan berwarna coklat kehitaman. Tampak manis dipandang mata dari dekat maupun kejauhan. Rumah berlantai dua dengan modifikasi modern di bagian bawah yang telah dilapisi keramik berwarna putih bercampur biru. Di sebelah kanan pekarangan nampak sebuah pendopo kecil tempat bersantai yang teduh dan dikelilingi bunga taman berwarna-warni dengan mayoritas hijau. Menenangkan di tengah terik matahari yang semakin panas. Menambah cerah rasa di hati Fajar dan Diana yang berbunga-bunga.

Putra menuntun motor mio kepunyaan diana ke pekarangan. Perjalanan pun tertunda sesaat. Begitulah tradisi pedesaan yang masih lekat nuansa kekeluargaannya. Sopan santun yang masih terjaga keasliannya. Silaturahim yang dijunjung tinggi menjadi kekayaan hati yang terus mendatangkan rasa bahagia.. Kebersamaan dalam keluarga seperti ini akan menyemaikan kebahagiaan yang tiada bandingannya. Itulah suasana yang nampak pagi itu.

Akan tetapi, berbeda rasa yang ada di hati Diana dan Fajar. Diana seolah menemukan mentari yang selama ini ia cari. Setelah sekian lama menjalani kehidupan sendiri, ia telah memikirkan bahwa waktu sekarang adalah saatnya ia untuk melanjutkan kehidupannya. Tidak mungkin ia menjalani kehidupan sendiri selamanya. Agama pun melarang hal itu. terlebih lagi, kedua orang tuanya telah berkali-kali menanyakan kepastian waktu Diana untuk berumah tangga.

Saat ini, baru saja titik cerah itu tampak di hadapannya. Ia menilai lelaki ini adalah lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab. Dari paras wajahnya yang tidak hanya tampan, ia juga dapat menduga kalau lelaki yang bernama Fajar ini adalah lelaki yang menghargai perempuan dan cinta keluarga. Hal itu dapat ia duga saat fajar menanyakan kabar ibunda Shinta.

Perasaan itu berkecamuk di hati Diana. Bertubi-tubi pertanyaan menghantam hatinya yang tegar selama ini. Namun, hanya sekejap saja sosok Fajar hampir membuat ia tidak mengenali lagi siapa dirinya. Walau semua itu tidak tampak di raut wajahnya, tapi ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri.

“Oh Tuhan, diakah yang telah Engkau tuliskan untuk menjadi imam dalam keluargaku? Mengapa Engkau uji aku dengan rasa seperti ini di saat aku tengah bimbang akan perasaanku sendiri. Aku memang telah meminta padaMu agar Engkau segera mempertemukan aku dengan dia yang telah Engkau takdirkan untuk kudampingi dalam kehidupan ini, tapi jangan Engkau buat aku menghancurkan hati yang selama ini telah aku jaga untuknya hanya karenaMu semata”, Diana berdoa dalam hati.

“Ya Allah, seandainya memang dia yang telah Engkau takdirkan, maka bukakanlah hatiku untuk menerimanya apa adanya dan tunjukkanlah padaku jalan terbaik untuk kehidupanku yang sesuai dengan ajaranMu”, Diana melanjutkan. Diana seolah menemukan sosok pangeran tampan yang selama ini ia impikan untuk menjadi imam dalam rumah tangganya. Ia berusaha untuk tidak larut dalam buaian harapan hampa belaka. Ia yakin, jika memang sudah tiba waktunya, maka ia akan bertemu dengan jodohnya dan Allah akan memberikan segala yang terbaik bagi hamba-hambaNya.

Sementara itu, tak berbeda jauh dengan Diana, Sang Pangeran di hati Diana, Fajar juga tak kuasa menuntun hatinya yang berkecamuk. Rasa senang dan takut terus menghantuinya. Ia memang telah cukup lama hidup sendiri dan telah lama pula berikhtiar untuk mendapatkan pendamping lagi. Tapi ia sadar kondisinya saat ini. Ia adalah seorang duda beranak satu. Bukan perjaka seperti dahulu ketika ia bertemu dengan Sang Permaisuri yang telah meninggalkannya tepat tujuh bulan yang lalu. Sang pujaan telah pergi karena Allah lebih mencintainya dari pada ia dan keluarganya. Ia telah ikhlaskan itu semua, tapi, sebagai seorang ayah ia merasa buah hatinya memerlukan seorang ibu yang dapat mengasuh dan membesarkannya.

“Ya Allah, sungguh aku tidak ingin menzholimi diriku dan dirinya. Aku sungguh merasa bahagia bisa bertemu dengannya, tapi aku juga menyadari keadaanku. Aku berharap Engkau memberiku pendamping dalam hidup dan Engkau pertemukan aku dengan dia. Jika memang dia yang telah Engkau takdirkan menggantikan pujaan hatiku yang Engkau lebih mencintainya dari pada aku, maka tunjukkanlah jalannya ya Allah. Tunjukkanlah jalanMu yang terbaik dan halal. Jangan Engkau biarkan hati ini rapuh dan tumbang dalam angan dan dosa. Astaghfirullahal’azhimi...”, Fajar berharap dan berdoa dalam hati.

Keduanya merasakan kebahagiaan sekejap tanpa diketahui oleh satu sama lain. Pandangan mereka tettap terjaga. Dalam berbincang di pendopo itu pun, adab keduanya terjaga secara Islami di tengah keluarga Shinta yang nampak mengetahui perasaan mereka berdua dari raut muka dan sikap keduanya yang mendadak berubah sedikit aneh serta gugup. Perbincangan pun berlanjut.

*******


To be continued...

Dokter Diana (Part 3)

Badai Hati dan Samudra Cinta


Jumat, 01 Juli 2011

Bumi Kupijak (Potongan bait lagu "NA")

Jejak mimpi yang kuuntai perlahan hadirkan cahaya dalam terang. Aku pun terus berjalan menyusuri tepi-tepi jalan berbatu tajam itu. Mengikuti alur prosa kehidupan yang aku pun tak tau akan berujng dimana. Yang aku tau hanyalah aku masih berada disini. Sekali lagi di jalan yang telah aku mulai sedari dulu. Aku masih mengingat-ingat memang, "Apakah jalan ini aku mulai dengan bimbinganNya?". Semoga ya Allah. Jika pun tidak, aku mohon ridhoilah dan tuntunlah aku ke jalanMu yang lurus.

Lagi... Kawan, aku masih berada di jalanku. Aku pun tak sendiri kurasa. Banyak bunga bertebaran di sekitarku. Kupu-kupu, burung, capung, dan lainnya jua ada menemani. Taukah saat ini aku sedang duduk beralas bumi di bawah sebatang pohon di sebuah savana luas. Aku asyik memandang keindahan alam yang mempesona melenakanku. Ah... Prosa ini terlalu menyedihkan. Tiba-tiba kudengar untaian bait-bait lagu yang aku pun merasa belum pernah mendengarnya. Menyadarkanku kalau aku belum waktunya berhenti. Dan, akhirya jalan ini terus kususuri. Tak aku pedulikan lagi kerikil, batu, ataupun gunung menjulang di hadapan, semua aku harus lewati. Dengan karuniaNya.

Prosa lirihku, kelak kau akan menyaksikan kebahagiaan itu ada dipenghujung ceriteramu...

Rabu, 25 Mei 2011

Iseng Aje


Cuti lebih dari dua bulan... Hehehehe...
Dari dunia perinternetan...


Malam ini lagi di Ruko nich (Bukan Rumah Toko loch... Ruang Koas maksudnya. DI SMF Kebidanan Delima RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung). Ini minggu kedua jaga ruangan (Bangsal). Artinya, tinggal semingguan lagi bakal ujian bro... Semoga kami semua lulus ya Allah... Aamiin...


Mau nulis tapi males nulis... Lagi pengen Online aja. Ya sudahlah, nanti kalo ada tulisan tak upload dech...

Rabu, 23 Maret 2011

Sahabat Wanita



Sahabat Wanita

Oleh: Tidak Diketahui
Terjemahan Bebas Oleh: Bassisette
Kiriman: Azallea Lesmana


Pada suatu hari, seorang wanita muda yang baru saja menikah mengunjungi ibunya di Bukit Timah. Mereka duduk di sebuah sofa dan menikmati segelas air teh dingin.

Ketika mereka sedang berbincang-bincang mengenai kehidupan, pernikahan, tanggung jawab dalam hidup serta kewajiban, sang ibu dengan perlahan menaruh sebongkah es batu ke dalam gelasnya dan menatap wajah anak perempuannya.

"Jangan lupakan sahabat-sahabat wanitamu." nasihatnya, sambil mengaduk-ngaduk daun teh di bawah gelasnya. "Mereka akan menjadi orang yang penting bagimu ketika usiamu makin tua.Tidak peduli seberapa dalam kau mencintai suamimu, seberapa banyak anak-anak yang kau miliki, kau masih tetap harus memiliki sahabat wanita. Ingatlah untuk berjalan-jalan bersama mereka, melakukan hal bersama-sama dengan mereka. Dan ingat bahwa mereka bukan hanya sekedar sahabat wanitamu, tetapi mereka akan menjadi saudara, anak dan yang lainnya. Kau akan membutuhkan sosok wanita yang lain. Wanita selalu begitu."

"Sungguh nasihat yang aneh," pikir si wanita muda. "Bukankah aku baru saja menikah? Bukankah aku baru saja bergabung dalam dunia pasangan-pasangan muda? Sekarang saya adalah seorang istri, orang dewasa, bukan anak perempuan kecil yang memerlukan teman main perempuan lainnya! Tentu saja keluarga yang akan kami bina dapat membuat hidup saya lebih berarti."

Tetapi, ia mendengarkan nasihat ibunya; ia terus berhubungan dengan sahabat-sahabat wanitanya dan bertemu dengan semakin banyak sahabat setiap tahun. Ketika tahun demi tahun berlalu, ia mulai merasakan betapa benar nasihat yang diberikan ibunya. Ketika waktu dan keadaan mengubah keberadaan mereka sebagai wanita dengan segala misterinya, sahabat-sahabat wanitanya tetap berada dalam kehidupannya.

Setelah hidup selama 50 tahun dalam dunia ini, inilah fakta-fakta yang saya dapatkan dari memiliki sahabat wanita:

Sahabat wanita membawakan kau kari ayam dan menggosok kamar mandimu ketika kau membutuhkan pertolongan.

Sahabat wanita akan menjaga anak-anak dan rahasiamu.

Sahabat wanita akan memberikan nasihat ketika kau membutuhkannya. Kadang-kadang kau menerimanya, kadang-kadang tidak.

Sahabat wanita tidak selalu mengatakan apa yang kau lakukan benar, tetapi mereka biasanya bersikap jujur.

Sahabat wanita akan terus mengasihimu, meskipun ada perbedaan pendapat.

Sahabat wanita akan tertawa bersama-sama denganmu, dan lelucon kosong sama sekali tidak diperlukan hanya untuk sebuah tawa.

Sahabat wanita akan menarikmu dari kesulitan.

Sahabat wanita akan menolongmu keluar dari hubungan-hubungan yang buruk.

Sahabat wanita menolongmu mencarikan rumah tinggal yang baru, membantu mengepak barang dan pindah.

Sahabat wanita akan membuat sebuah pesta untuk anak-anakmu ketika mereka menikah atau memiliki anak, manapun yang lebih dulu terjadi.

Sahabat wanita akan selalu berada di sampingmu, dalam suka maupun duka.

Sahabat wanita akan menempuh badai, topan, panas, dan kegelapan untuk mengeluarkan kau dari keputusasaan.

Sahabat wanita akan mendengarkan ketika kau kehilangan pekerjaan atau seorang kawan.

Sahabat wanita akan mendengarkan ketika anak-anakmu mengecewekanmu.

Sahabat wanita akan mendengarkan ketika keadaan orang tua kita semakin memburuk.

Sahabat wanita akan menangis bersamamu ketika orang yang dikasihimu meninggal.

Sahabat wanita menghiburmu ketika kau dikecewakan oleh banyak pria di dalam kehidupanmu.

Sahabat wanita membantumu untuk bangkit kembali ketika pria kau cintai pergi meninggalkanmu.

Sahabat wanita senang ketika mereka melihatmu bahagia, dan bersedia mencari dan melemparkan apa yang tidak membuatmu bahagia.

Waktu berlalu.
Kehidupan berjalan.
Jarak memisahkan.
Anak-anak beranjak dewasa.
Cinta hilang dan pergi.
Hati yang hancur.
Karir berakhir.
Pekerjaan berganti.
Orang tua meninggal.
Rekan-rekan melupakan kebaikan.
Pria tidak menelpon ketika mereka berkata mereka akan.

TETAPI, sahabat-sahabat wanita akan terus mendampinginmu, meskipun waktu dan jarak yang terpaut sangat jauh. Seorang sahabat wanita tidak akan lebih jauh dari orang-orang yang membutuhkan. Ketika kau harus berjalan melewati lembah sendirian, sahabat wanitamu akan terus berjalan bersamamu di atas puncak lembah, menyusuri jarak bersamamu, menghiburmu, mendoakanmu, menarikmu, dan menanti dengan tangan terbuka di ujung lembah ketika perjalanan berakhir. Terkadang, mereka pun harus melanggar peraturan untuk dapat berjalan bersamamu. Atau bahkan menopangmu.

Anak, saudara, ibu, ipar perempuan, ibu mertua, bibi, keponakan, sepupu perempuan, keluarga jauh, dan para sahabat perempuan saya telah membuat kehidupan saya lebih berarti! Dunia tidak akan sama tanpa kehadiran mereka, dan begitu juga saya.


Ketika kita memulai petualangan kita sebagai wanita dewasa, kita tidak tahu tentang kesukacitaan atau kedukaan yang akan terjadi di depan. Atau seberapa jauh saya dan mereka akan saling membutuhkan. Tetapi saya tahu, saya masih tetap membutuhkan mereka setiap hari.



Sabtu, 19 Februari 2011

Obrolan Terakhir Malam Ini


Malem ini ngobrol sama beberapa orang...
Hehehehe...


With my little brother... Aril Juwanda...

Assalamualaikum... Adekku yang pintar, lagi apa? Hahahahahahahahaha

WS.......... NPE?

Ndik ade... Tapi gawi?

FB

La udim ujian?

SNIN........... Trakhir

Semangat... Sukses selalu yah...


My lovely brother...

Asw... Bi... Sehat...

wlkslm. alhmd sehat kak... kagn dengan antum.. hehehe.. ;D lagi sbk pa kak??

lg sibuk OL... hhehehehe

hehe. iyalah... yg laen kak?? kapn nikah???

hehehe. Ngurusin proposal buat nyari akhwat... hehehehehehe

hehe... kapan??? ana tanggal 8 september 2014... insya allah lamar akhawat

Ndak tau lah...

hehe..

cie... yang udah punya tanggal... barakallah lah kalau begitu...

hehe.. iya kak qta mesti berani bermimpi... betul tidak??

betul... betul... betul...

sip...sipp

barakallah ya Adekku... Love you brother...

love to.. kapan wisuda kak??

Maret dunks... ane udah cetak skripsi...

sipp... bareng dp akhwat fp dunk

Sopo?

kusmaria,S.P

Ulfa? Oohhh... Iya...

bukan. teman ya

teman? siapa?

kusmaria

Ndak... ndak tau malah... Kalo Ulfa ane tau... Tau nomornya... Dia mau ikut acara ADK ndak yah habis wisuda...

ga tahu... ada... entar ana smskan

ya... boleh... besok2 ane tanya... DP FOSI kan?

apa ya???

Kusmaria DP?

iya


Larto Darmawan

Aih... OL terus...

ndak ada kerjaan

Wuih, enak nih yang mau jalan2 k Jakarta...

jalan2 apa, kerja wui

ye, sing penting... oleh-oleh...

oleh2 opo?

yg jelas bukan akhwat... ane bisa nyari ndiri kalo itu...

halah mana buktinya?????

mau tau? males deh...

mana... I know

Ndak boleh dikasih tau lah... tau apa?

ehh bsk jam 4 ya acara tuker2 kado itu

iya... bukannya ente jalannya besok...

senin. udah beli kado ?

belum... iya juga yah... beli apa? berarti bisa ikut kak dirga dong?

kemana? ndak bilang2 dia

nganter apa gitu ke deket Mutun... sama temennya... kalo ndak salah denger, sama Arif. Apa mbah Surip?

ooooo....gitu... bukan mbah surip kali

ya ndak tau... ikut yah...

ndak diajak kok, ya ndak eneklah

ntar ane bilang...

ndak enaklah

nyantai aja...


Tia Agnesa Bachri

Asw... Tia... Pa kabar...

kabar wawai pak dokter... dirimu gimana??

ndak nanya kabar LCDnya?

sampe lupa loh..hehe

baik insya Allah... kalo masih ada bola, tak pake nonton, tapi karena cuma ada sinetron aja, ya ndak dipake deh...

besok dateng kan??? di bawa aja sekalian. how??

apa dianterin aja...

yang bawa kan motor..gak berat

afwan yah lama... sewanya piye?

lainlah ya yang udah sarjana..wkwkw..nanyain sewa..

Alhamdulillah Ia... Kompre selesai... Tia lah cepet2...

males betul jri ke kampus. didesek dosen terus...

harus dipaksa... semangat...  dah sampe mana emangnya?

terakhir di suru ganti judul lagi..makanya males.. belum jalan2 lagi nih buat proposal. uda keburu bosen,,hee. tapi ni lagi coba ngumpulin data lagi..

perlu dibantu? mumpung lagi luang nih... (sokbaik.com)

lagi nyobain yang ada di otak ni.. sayang aja uda ngajar tapi gak dapet apa2.. lagi coba2 metode yang pas. yang bisa diangkat jadi judul baru..

Semangat deh... Doa kami menyertaimu... Hehehehehe... Ditunggu undangan makan2 wisudanya yah...

doakan lah bisa cepat jadi sarjana..


Amiin...