Sabtu, 03 Desember 2011

Dokter Diana (Part 2)



Sang Pangeran


Mentari bersinar cerah menyambut paginya yang ceria. Rasa di hatinya begitu gembira hari ini. Entahlah kenapa. Yang jelas ia berharap hari ini akan berlalu dengan indah. Dia masih asyik menikmati rona-rona jingga di ufuk timur yang terpancar dari sang surya. Hangat, menghangatkan kalbunya. Ia rentangkan kedua lengan menghadap sang surya seraya memejamkan matanya untuk lebih merasakan sejuknya embun yang perlahan hilang diterpa sinaran lembut mentari, seolah tak ingin saat indah ini segera pergi.

Diana's animation (Adopted from Kawan Imut)
“Ups, aku hampir lupa berdoa atas keindahan yang kurasakan ini”, tersentak ia dalam hati. “Tuhan, andai saat indah ini akan segera berakhir, izinkan aku agar dapat mensyukurinya selalu dan jangan Engkau buat aku lalai atas nikmat-nikmat yang Engkau berikan padaku”.

Itulah Diana. Sosok seorang wanita periang dan bersahaja. Seorang dokter yang masih sangat muda usianya. Lembut hatinya, tutur katanya sopan, penyayang, dan suka menolong sesama. Andaikan seorang lelaki memandangnya sepintas saja, pasti ia akan terpesona akan keelokkan rupanya. Wajahnya yang cantik ditambah dengan dua lesung pipinya, menambah rupawan saat ia tersenyum dan tertawa. Terlebih dengan keahliannya memadukan warna-warni gaun indah yang senantiasa menutupi auratnya, sungguh sempurnalah rupanya. Belum lagi jika memandang jauh ke dalam kalbunya, mungkin dialah sosok wanita sholehah idaman ikhwan sepanjang zaman. Subhanallah. Hanya Allah yang Maha Sempurna.

Diana masih di tempatnya. Ia seakan memeluk mentari dengan kedua lengannya. Mentari yang cerah semakin mencerahkan kalbunya. Wajahnya merona di bawah sinar mentari yang jatuh di wajahnya. Semilir angin yang meniup jilbabnya yang terurai panjang membuatnya semakin asyik menikmati pagi itu.

“Assalamu’alaikum Bu Dokter...”, sebuah sapaan mengagetkannya yang sedang asyik menikmati sinar mentari setelah olah raga pagi.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh...”, jawabnya dengan suara yang semakin pelan pada ujung kalimatnya. “Eh, Teteh... Habis olah raga Teh?”.

“Ia Din, habis lari-lari sedikit. Pan katanya biar sehat, harus rajin olah raga”, jawab Shinta sembari menghampiri Diana dan cipika-cipiki.

“Afwan, sedikit bau bajunya, belum mandi”, ungkap Diana singkat.

“Sami mawon atuh Din, belum mandi juga nih...”, balas Shinta. Mereka pun tersenyum menikmati gurauannya.

“Iya tuh, biar sehat, ya harus rajin olah raga, di samping mencukupi kebutuhan makanannya”, jelas Diana.
 
Diana memang telah akrab dengan Shinta sejak pertama kali datang ke Bengkulu. Tepatnya di Manna. Disana Diana mengabdikan diri di Puskesmas induk yang membawahi lebih dari 20 Puskesdes, Pustu, dan Posyandu. Sudah hampir satu tahun ia berada disana sejak kelulusannya. Disana ia sudah dianggap seperti bagian dari keluarga besar Shinta. Sering keduanya bermalam bersama di salah satu tempat tinggal mereka. Terkadang di rumah Shinta, terkadang di rumah dinas Diana. Mereka sudah seperti saudara kembar saja. Dari rupa, memang Diana sedikit lebih dari Shinta, tapi akhlak keduanya sangatlah memikat hati siapa pun yang bersua dengan mereka. Rupa nan elok dihiasi dengan akhlak yang mulia. Andai semua insan bernama laki-laki dapat memilih sesukanya, maka pasti gadis seperti merekalah yang dicari-cari.

“Din, Teteh nanya boleh ya? Ya?...”, Shinta sedikit memaksa dengan ekspresinya yang agak centil.

“Emh, boleh nggak ya?...”, Diana menjawab dengan senyum dan seolah butuh pertimbangan panjang.

“Iiiihhh... Dina jahat...”, ulah Shinta dengan menggelitiki Diana. Mereka tertawa dan berlarian.

“Iya... Iya... Boleh dong sayang... Apa sih yang nggak buat saudariku nan cantik jelita ini? Mau nanya apa?”, Diana menenangkan.

“Terima kasih... Teteh kan memang paling cantik sejagat raya. Dina kan tau itu, ya kan adikku sayang”, timpal Shinta.

“Iya deh...”, Diana memuji Shinta.

“Kapan pulang ke Lampung?...”, tanya Shinta.

“Kenapa nanya gitu?... Ngusir yah?... Iya deh, besok saya pulang, nggak balik-balik lagi kesini”, Diana ketus.

“Ya nggak donk sayang... Teteh mau ikut... Boleh yah?”, Shinta merayu.

“Emh...”, Seolah bingung.

“Terima kasih honey... Dina emang baik”, Shinta seolah terkesan.

“Belum juga dijawab. Udah seneng aje...”, ketus dengan sikap Shinta.

“Tapi boleh kan?...”, pinta Shinta. “Gini lho honey, ada yang belum Teteh ceritain. Mau tau nggak? Kalo mau tau, segera agendakan pulang ke Lampung, biar Teteh ikut yah...”.

“Iya Teh, janji deh... Dua minggu lagi mau pulang dulu. Kangen sama Abi dan adik-adik. Kebetulan udah janjian pulang semua. Sekalian liburan sama Abi. Abi milad ceritanya. Makanya kita pada mau pulkam, Teh”, jelas Diana.

“Nah, gitu dong... Teteh boleh ikut kan?...”, Shinta merayu lagi.

“Iya... iya... Ya udah, tapi cerita apaan yang mau Teteh ceritain?...” Diana penasaran.

“Ya sabar dong sayang... Hemh... Beginilah kisahnya hidup Din. Kita harus ikhlas menerima setiap suratan yang Ia tuliskan untuk jalan kehidupan kita. Kemarin kita bertemu, sekarang kita bercanda, boleh jadi esok kita terpisah jauh. Tapi, ya inilah kehidupan kita. Cerita panjang yang ujungnya tak tau ada dimana”, cerita Shinta lirih.

“Ahh... Kok bilang gitu sih, Teh... Bikin sedih aja. Kenapa emangnya? Ada yang salah?...”, Diana penasaran dengan cerita Shinta.

“Nggak ada apa-apa kok. Teteh cumma membayangkan kalau esok nanti kita sudah menjalani kehidupan kita masing-masing. Ada potongan kisah lucunya, ada sedihnya, ada bahagianya, ada berantemnya, ada cowok gantengnya, ada nangis-nangisan, ada curhat-curahatan, dan ada banyak lagi kisahnya. Indah yah...”, Shinta melanjutkan.

Diana hanya tertegun meresapi setiap kata-kata Shinta yang syarat makna,”Hemh...”.

“Hari ini, Teteh mau cerita sama Dina kalo Teteh bentar lagi mau nikah...”, Shinta berseru.

“Apa?... Nikah Teh?...”, Diana terkejut.

“Iya sayang... Tiga hari lagi Teteh akan dilamar...”, Jelas Shinta seraya memegang kedua pipi Diana yang telah basah oleh air mata bahagianya. “Jangan nagis dong, ntar lagi Dina juga nyusul kan...”.

“Dina seneng, Teh. Seneng banget. Akhirnya Teteh bertemu dengan jodohnya Teteh. Barakallah ya Teh... Afwan air matanya ngalir  terus...”, Diana mengahiri kata-katanya.

“Aamiin... Syukron... Teteh doain agar Dina segera bertemu pangerannya. Pangeran berkuda putih yang kan membawa Dina pergi jauh mengarungi samudra terindah kehidupan di dunia fana ini”, Shinta menenangkan.

“Aamiin...  Iya Teh... Afwan”, Diana terharu dalam dekapan Shinta.

Mereka berdua masih terhanyut dalam lautan kebahagian pagi itu di bawah sinaran mentari. Menguntai kisah di pagi hari ahad yang ceria. Waktu pun berlalu beranjak siang. Tak lama mereka di taman bergegas ke belakang rumah. Kala itu, bertepatan dengan sebuah mobil Jip berwarna biru gelap di jalan depan rumah Diana. Mobil itu berjalan perlahan dan berhenti tepat dua rumah di samping rumah dinas Diana. Karena penasaran, keduanya sempat memperhatikan dua orang pemuda yang keluar dari mobil itu dan masuk ke dalam rumah. Sekilas Shinta mengenal sosok mereka, namun mereka lebih tertarik pada kesibukkan mereka menjelang siang, mereka pun berlalu dari sapaan mentari yang menghangatkan itu.

*******

Waktu telah menunjukkan tepat pukul 8.30 pagi pada jam dinding di kediaman Diana. Hari Minggu ini, dua sejoli, Diana dan Shinta akan pergi ke pusat kota untuk membeli beberapa kebutuhan harian mereka sekaligus membeli bahan untuk persiapan menyambut hari lamaran. Shinta telah datang sejak 5 menit yang lalu, namun, setelah membuka dompetnya, ternyata Shinta terlupa memasukkan uang yang telah ia siapkan untuk belanja. Akhirnya mereka memutuskan untuk mampir kembali ke rumah Shinta. Motor mio putih hitam berhias warna ungu telah siap menemani mereka menembus jalan panjang 40 Km menuju pusat kota.

Setelah penyelesaikan keperluan di rumah Shinta, mereka berdua segera bersiap melanjutkan perjalanan. Tak lupa ibunda Shinta mengingatkan dari beranda rumah agar kami berhati-hati di perjalanan dan meneliti semua keperluan saat belanja. Diana menuntun motor mionya keluar pekarangan. Sambil melangkah menuju luar pekarangan, mereka masih saja asyik bercanda ria. Setibanya di depan pagar dan mereka siap mengarungi perjalanan, tiba-tiba saja ada suara yang memanggil dari belakang. Mereka pun melongok dan memperhatikan ke belakang.

“Dank Putra... Dank Fajar...”, Shinta mengira-ngira.

Mereka pun mengobrol akhirnya, tentunya dengan khas bahasa Bengkulu.

“Mau kemana Ta?”, Putra menyapa Shinta.

“Bener Dank Putra... Dank Fajar... Apa kabar Dank? Baru sampai disini?”, tanya Shinta.

“Iya... Alhamdulillah sehat. Baru tadi pagi sampai sini. Semalam kami di tempat Deffi di Simpang. Kamu gimana kabar?” Putra balik bertanya.

“Alhamdulillah sehat. Ini mau ke kota. Ada perlu sedikit. Mau belanja. Gimana kabar Dank Deffi?, Sinta memastikan kabar teman dekat Putra dan Fajar yang juga telah ia kenal.

“Alhamdulillah sehat dia. Tadi titip salam dari Deffi sama istrinya”, jelas Putra.

“Ini dari mana? Dari rumah dank Yayan?”, kambali Shinta bertanya.

“Iya, dari rumah Dank Yayan. Nggak enak nggak mampir dulu”, jelas Putra.

“Lama Dank Fajar nggak kesini ya Dank... Jadi sadar kalau Shinta kangen sama Dank. Tambah ganteng aja Dank Fajar...”, Shinta menyapa Fajar.

“Ah... Bisa aja kamu Ta. Iya, Dank juga kangen sama keluarga disini. Udah dua tahunan sejak pertama Dank kesini ya... Gimana bapak sama ibu sehat?, Fajar mencoba akrab kembali dengan Shinta. Suaranya yang lembut dan sedikit berat menambah aura kewibawaannya.

“Alhamdulillah sehat Dank. Ada ibu di atas, kalau bapak udah pergi tadi. Mau ke tempat paman katanya. Dank berdua menjomblo nih kesini?”, jawab Shinta singkat.

“Bisa aja kamu Ta”, jawab Fajar. Mereka pun tertawa.

Putra - Fajar - Yayan
Shinta tampak asyik menyapa Putra yang baru saja tiba bersama Fajar. Putra adalah saudara sepupu dari Shinta. Begitu juga Yayan. Tepatnya, orang tua mereka bersaudara kandung. Tak salah jika Shinta begitu senang melihat sepupunya itu datang. Mereka sudah hampir 1 tahun tidak bertemu. Selama ini, Putra dan Yayan bekerja di Palembang, sehingga jarang pulang. Sedangkan Fajar, dia adalah teman dekat Putra ketika dulu menempuh pendidikan dinas di rumah sakit. Putra dan Yayan berprofesi sebagai perawat sedangkan Fajar adalah seorang dokter.

Asyik menikmati obrolan, ternyata ada yang terlupa. Di samping Shinta ada seseorang yang diam tertunduk malu tanpa berani menatap wajah orang-orang di hadapannya. Menyadari telah melupakan itu, Shinta membuka kata untuk memperkenalkan Diana.

“Eh, maaf lupa... Ini kenalin Dank. Ini Diana, temen Shinta. Din, ini Dank Putra, sepupu Teteh yang pernah Teteh ceritain waktu itu. Nah, kalau yang ini... Mau dikenalin nggak Dank Fajar?”, Shinta menggoda Fajar dengan kata-katanya yang sedikit manja karena sebelumnya saat Fajar berkunjung ke Manna, mereka memang telah akrab.

Diana menelungkupkan kedua telapak tangannya di depan dada untuk menyapa Putra dan Fajar. Sedikit memandang ke arah orang yang bernama Fajar, entah mengapa hati Diana sedikit berdetak dan berdegup kencang. Diana hanya menunduk dan berkata seadanya, berusaha untuk menguasai diri. Namun, tanpa bisa dikuasai hatinya bertanya mengapa sosok lelaki ini nampak begitu spesial di matanya.

“Astaghfirullah... Ya Allah, kuatkan aku untuk menjaga hati ini hanya karenaMu”, doa Diana dalam hati.

Begitu juga Putra dan Fajar. Mereka menelungkupkan kedua tangan di depan dada untuk menyapa Diana. Tanpa diketahui masing-masing, ternyata Fajar juga merasakan hal yang sama. Terselip rasa bahagia bisa bertemu gadis semanis Diana, namun ia juga tak berani menunjukkan ekspresinya berlebihan. Ia hanya menunduk dan sesekali memandang saat bicara. Mencoba menguasai suasana agar tidak terlihat gugup.

“Astaghfirullah... Mengapa hati ini begitu bergejolak? Tenangkanlah aku ya Allah. Hanya Engkau sebaik-baik tempat berteduh badai godaan setan yang menyesatkan hati”, Fajar mencoba menenangkan diri.

“Eh, masuk dulu aja Dank. Ketemu ibu dulu”, ajak Shinta.

“Iya, rencananya begitu tadi”, tegas Fajar.

“Tapi, kalian nggak jadi pergi?”, tanya Putra.

“Ah bentar lagi aja. Nggak enak ninggalin tamu yang baru dateng”, canda Shinta seraya menarik Diana masuk ke dalam rumah.

“Ya udah, gimana kalau bareng aja?”, ajak Putra.

“Loh, emang Dank mau ke kota juga? Kan baru sampai juga disini? Nggak capek Dank?”, Diana mencoba mencairkan suasana agar terlihat lebih akrab dengan sepupu Shinta dan sahabatnya itu.

“Iya, ada yang mau dicari juga”, jelas Putra.

“Ya udah, yang penting masuk dulu. Ayo...”, Shinta kembali menarik lengan Diana untuk masuk lebih dahulu. “Ibu... Bu... Ada dank Putra sama dank Fajar Bu”.

Mereka masuk ke dalam rumah Shinta. Rumah bernuansa pedesaan dengan bangunan dari kayu dan papan berwarna coklat kehitaman. Tampak manis dipandang mata dari dekat maupun kejauhan. Rumah berlantai dua dengan modifikasi modern di bagian bawah yang telah dilapisi keramik berwarna putih bercampur biru. Di sebelah kanan pekarangan nampak sebuah pendopo kecil tempat bersantai yang teduh dan dikelilingi bunga taman berwarna-warni dengan mayoritas hijau. Menenangkan di tengah terik matahari yang semakin panas. Menambah cerah rasa di hati Fajar dan Diana yang berbunga-bunga.

Putra menuntun motor mio kepunyaan diana ke pekarangan. Perjalanan pun tertunda sesaat. Begitulah tradisi pedesaan yang masih lekat nuansa kekeluargaannya. Sopan santun yang masih terjaga keasliannya. Silaturahim yang dijunjung tinggi menjadi kekayaan hati yang terus mendatangkan rasa bahagia.. Kebersamaan dalam keluarga seperti ini akan menyemaikan kebahagiaan yang tiada bandingannya. Itulah suasana yang nampak pagi itu.

Akan tetapi, berbeda rasa yang ada di hati Diana dan Fajar. Diana seolah menemukan mentari yang selama ini ia cari. Setelah sekian lama menjalani kehidupan sendiri, ia telah memikirkan bahwa waktu sekarang adalah saatnya ia untuk melanjutkan kehidupannya. Tidak mungkin ia menjalani kehidupan sendiri selamanya. Agama pun melarang hal itu. terlebih lagi, kedua orang tuanya telah berkali-kali menanyakan kepastian waktu Diana untuk berumah tangga.

Saat ini, baru saja titik cerah itu tampak di hadapannya. Ia menilai lelaki ini adalah lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab. Dari paras wajahnya yang tidak hanya tampan, ia juga dapat menduga kalau lelaki yang bernama Fajar ini adalah lelaki yang menghargai perempuan dan cinta keluarga. Hal itu dapat ia duga saat fajar menanyakan kabar ibunda Shinta.

Perasaan itu berkecamuk di hati Diana. Bertubi-tubi pertanyaan menghantam hatinya yang tegar selama ini. Namun, hanya sekejap saja sosok Fajar hampir membuat ia tidak mengenali lagi siapa dirinya. Walau semua itu tidak tampak di raut wajahnya, tapi ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri.

“Oh Tuhan, diakah yang telah Engkau tuliskan untuk menjadi imam dalam keluargaku? Mengapa Engkau uji aku dengan rasa seperti ini di saat aku tengah bimbang akan perasaanku sendiri. Aku memang telah meminta padaMu agar Engkau segera mempertemukan aku dengan dia yang telah Engkau takdirkan untuk kudampingi dalam kehidupan ini, tapi jangan Engkau buat aku menghancurkan hati yang selama ini telah aku jaga untuknya hanya karenaMu semata”, Diana berdoa dalam hati.

“Ya Allah, seandainya memang dia yang telah Engkau takdirkan, maka bukakanlah hatiku untuk menerimanya apa adanya dan tunjukkanlah padaku jalan terbaik untuk kehidupanku yang sesuai dengan ajaranMu”, Diana melanjutkan. Diana seolah menemukan sosok pangeran tampan yang selama ini ia impikan untuk menjadi imam dalam rumah tangganya. Ia berusaha untuk tidak larut dalam buaian harapan hampa belaka. Ia yakin, jika memang sudah tiba waktunya, maka ia akan bertemu dengan jodohnya dan Allah akan memberikan segala yang terbaik bagi hamba-hambaNya.

Sementara itu, tak berbeda jauh dengan Diana, Sang Pangeran di hati Diana, Fajar juga tak kuasa menuntun hatinya yang berkecamuk. Rasa senang dan takut terus menghantuinya. Ia memang telah cukup lama hidup sendiri dan telah lama pula berikhtiar untuk mendapatkan pendamping lagi. Tapi ia sadar kondisinya saat ini. Ia adalah seorang duda beranak satu. Bukan perjaka seperti dahulu ketika ia bertemu dengan Sang Permaisuri yang telah meninggalkannya tepat tujuh bulan yang lalu. Sang pujaan telah pergi karena Allah lebih mencintainya dari pada ia dan keluarganya. Ia telah ikhlaskan itu semua, tapi, sebagai seorang ayah ia merasa buah hatinya memerlukan seorang ibu yang dapat mengasuh dan membesarkannya.

“Ya Allah, sungguh aku tidak ingin menzholimi diriku dan dirinya. Aku sungguh merasa bahagia bisa bertemu dengannya, tapi aku juga menyadari keadaanku. Aku berharap Engkau memberiku pendamping dalam hidup dan Engkau pertemukan aku dengan dia. Jika memang dia yang telah Engkau takdirkan menggantikan pujaan hatiku yang Engkau lebih mencintainya dari pada aku, maka tunjukkanlah jalannya ya Allah. Tunjukkanlah jalanMu yang terbaik dan halal. Jangan Engkau biarkan hati ini rapuh dan tumbang dalam angan dan dosa. Astaghfirullahal’azhimi...”, Fajar berharap dan berdoa dalam hati.

Keduanya merasakan kebahagiaan sekejap tanpa diketahui oleh satu sama lain. Pandangan mereka tettap terjaga. Dalam berbincang di pendopo itu pun, adab keduanya terjaga secara Islami di tengah keluarga Shinta yang nampak mengetahui perasaan mereka berdua dari raut muka dan sikap keduanya yang mendadak berubah sedikit aneh serta gugup. Perbincangan pun berlanjut.

*******


To be continued...

Dokter Diana (Part 3)

Badai Hati dan Samudra Cinta