Sang Pangeran
Mentari bersinar cerah menyambut paginya yang ceria. Rasa di hatinya begitu gembira hari ini. Entahlah kenapa. Yang jelas ia berharap hari ini akan berlalu dengan indah. Dia masih asyik menikmati rona-rona jingga di ufuk timur yang terpancar dari sang surya. Hangat, menghangatkan kalbunya. Ia rentangkan kedua lengan menghadap sang surya seraya memejamkan matanya untuk lebih merasakan sejuknya embun yang perlahan hilang diterpa sinaran lembut mentari, seolah tak ingin saat indah ini segera pergi.
Diana's animation (Adopted from Kawan Imut) |
Itulah Diana. Sosok seorang
wanita periang dan bersahaja. Seorang dokter yang masih sangat muda usianya.
Lembut hatinya, tutur katanya sopan, penyayang, dan suka menolong sesama.
Andaikan seorang lelaki memandangnya sepintas saja, pasti ia akan terpesona
akan keelokkan rupanya. Wajahnya yang cantik ditambah dengan dua lesung
pipinya, menambah rupawan saat ia tersenyum dan tertawa. Terlebih dengan
keahliannya memadukan warna-warni gaun indah yang senantiasa menutupi auratnya,
sungguh sempurnalah rupanya. Belum lagi jika memandang jauh ke dalam kalbunya,
mungkin dialah sosok wanita sholehah idaman ikhwan sepanjang zaman.
Subhanallah. Hanya Allah yang Maha Sempurna.
Diana masih di tempatnya. Ia
seakan memeluk mentari dengan kedua lengannya. Mentari yang cerah semakin
mencerahkan kalbunya. Wajahnya merona di bawah sinar mentari yang jatuh di
wajahnya. Semilir angin yang meniup jilbabnya yang terurai panjang membuatnya
semakin asyik menikmati pagi itu.
“Assalamu’alaikum Bu Dokter...”,
sebuah sapaan mengagetkannya yang sedang asyik menikmati sinar mentari setelah
olah raga pagi.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuh...”, jawabnya dengan suara yang semakin pelan pada ujung
kalimatnya. “Eh, Teteh... Habis olah raga Teh?”.
“Ia Din, habis lari-lari sedikit.
Pan katanya biar sehat, harus rajin olah raga”, jawab Shinta sembari
menghampiri Diana dan cipika-cipiki.
“Sami mawon atuh Din, belum mandi
juga nih...”, balas Shinta. Mereka pun tersenyum menikmati gurauannya.
“Iya tuh, biar sehat, ya harus
rajin olah raga, di samping mencukupi kebutuhan makanannya”, jelas Diana.
Diana memang telah akrab dengan
Shinta sejak pertama kali datang ke Bengkulu. Tepatnya di Manna. Disana Diana
mengabdikan diri di Puskesmas induk yang membawahi lebih dari 20 Puskesdes,
Pustu, dan Posyandu. Sudah hampir satu tahun ia berada disana sejak
kelulusannya. Disana ia sudah dianggap seperti bagian dari keluarga besar
Shinta. Sering keduanya bermalam bersama di salah satu tempat tinggal mereka.
Terkadang di rumah Shinta, terkadang di rumah dinas Diana. Mereka sudah seperti
saudara kembar saja. Dari rupa, memang Diana sedikit lebih dari Shinta, tapi
akhlak keduanya sangatlah memikat hati siapa pun yang bersua dengan mereka.
Rupa nan elok dihiasi dengan akhlak yang mulia. Andai semua insan bernama
laki-laki dapat memilih sesukanya, maka pasti gadis seperti merekalah yang
dicari-cari.
“Din, Teteh nanya boleh ya? Ya?...”,
Shinta sedikit memaksa dengan ekspresinya yang agak centil.
“Emh, boleh nggak ya?...”, Diana
menjawab dengan senyum dan seolah butuh pertimbangan panjang.
“Iiiihhh... Dina jahat...”, ulah
Shinta dengan menggelitiki Diana. Mereka tertawa dan berlarian.
“Iya... Iya... Boleh dong
sayang... Apa sih yang nggak buat saudariku nan cantik jelita ini? Mau nanya
apa?”, Diana menenangkan.
“Terima kasih... Teteh kan memang
paling cantik sejagat raya. Dina kan tau itu, ya kan adikku sayang”, timpal
Shinta.
“Iya deh...”, Diana memuji
Shinta.
“Kapan pulang ke Lampung?...”,
tanya Shinta.
“Kenapa nanya gitu?... Ngusir
yah?... Iya deh, besok saya pulang, nggak balik-balik lagi kesini”, Diana
ketus.
“Ya nggak donk sayang... Teteh mau
ikut... Boleh yah?”, Shinta merayu.
“Emh...”, Seolah bingung.
“Terima kasih honey... Dina emang
baik”, Shinta seolah terkesan.
“Belum juga dijawab. Udah seneng
aje...”, ketus dengan sikap Shinta.
“Tapi boleh kan?...”, pinta
Shinta. “Gini lho honey, ada yang belum Teteh ceritain. Mau tau nggak? Kalo mau
tau, segera agendakan pulang ke Lampung, biar Teteh ikut yah...”.
“Iya Teh, janji deh... Dua minggu
lagi mau pulang dulu. Kangen sama Abi dan adik-adik. Kebetulan udah janjian
pulang semua. Sekalian liburan sama Abi. Abi milad ceritanya. Makanya kita pada
mau pulkam, Teh”, jelas Diana.
“Nah, gitu dong... Teteh boleh
ikut kan?...”, Shinta merayu lagi.
“Iya... iya... Ya udah, tapi
cerita apaan yang mau Teteh ceritain?...” Diana penasaran.
“Ya sabar dong sayang... Hemh...
Beginilah kisahnya hidup Din. Kita harus ikhlas menerima setiap suratan yang Ia
tuliskan untuk jalan kehidupan kita. Kemarin kita bertemu, sekarang kita
bercanda, boleh jadi esok kita terpisah jauh. Tapi, ya inilah kehidupan kita.
Cerita panjang yang ujungnya tak tau ada dimana”, cerita Shinta lirih.
“Ahh... Kok bilang gitu sih,
Teh... Bikin sedih aja. Kenapa emangnya? Ada yang salah?...”, Diana penasaran
dengan cerita Shinta.
“Nggak ada apa-apa kok. Teteh
cumma membayangkan kalau esok nanti kita sudah menjalani kehidupan kita masing-masing.
Ada potongan kisah lucunya, ada sedihnya, ada bahagianya, ada berantemnya, ada
cowok gantengnya, ada nangis-nangisan, ada curhat-curahatan, dan ada banyak
lagi kisahnya. Indah yah...”, Shinta melanjutkan.
Diana hanya tertegun meresapi
setiap kata-kata Shinta yang syarat makna,”Hemh...”.
“Hari ini, Teteh mau cerita sama
Dina kalo Teteh bentar lagi mau nikah...”, Shinta berseru.
“Apa?... Nikah Teh?...”, Diana
terkejut.
“Iya sayang... Tiga hari lagi
Teteh akan dilamar...”, Jelas Shinta seraya memegang kedua pipi Diana yang
telah basah oleh air mata bahagianya. “Jangan nagis dong, ntar lagi Dina juga
nyusul kan...”.
“Dina seneng, Teh. Seneng banget.
Akhirnya Teteh bertemu dengan jodohnya Teteh. Barakallah ya Teh... Afwan air
matanya ngalir terus...”, Diana
mengahiri kata-katanya.
“Aamiin... Syukron... Teteh doain
agar Dina segera bertemu pangerannya. Pangeran berkuda putih yang kan membawa
Dina pergi jauh mengarungi samudra terindah kehidupan di dunia fana ini”,
Shinta menenangkan.
“Aamiin... Iya Teh... Afwan”, Diana terharu dalam
dekapan Shinta.
Mereka berdua masih terhanyut
dalam lautan kebahagian pagi itu di bawah sinaran mentari. Menguntai kisah di
pagi hari ahad yang ceria. Waktu pun berlalu beranjak siang. Tak lama mereka di
taman bergegas ke belakang rumah. Kala itu, bertepatan dengan sebuah mobil Jip
berwarna biru gelap di jalan depan rumah Diana. Mobil itu berjalan perlahan dan
berhenti tepat dua rumah di samping rumah dinas Diana. Karena penasaran,
keduanya sempat memperhatikan dua orang pemuda yang keluar dari mobil itu dan
masuk ke dalam rumah. Sekilas Shinta mengenal sosok mereka, namun mereka lebih
tertarik pada kesibukkan mereka menjelang siang, mereka pun berlalu dari sapaan
mentari yang menghangatkan itu.
*******
Waktu telah menunjukkan tepat
pukul 8.30 pagi pada jam dinding di kediaman Diana. Hari Minggu ini, dua sejoli,
Diana dan Shinta akan pergi ke pusat kota untuk membeli beberapa kebutuhan
harian mereka sekaligus membeli bahan untuk persiapan menyambut hari lamaran.
Shinta telah datang sejak 5 menit yang lalu, namun, setelah membuka dompetnya,
ternyata Shinta terlupa memasukkan uang yang telah ia siapkan untuk belanja.
Akhirnya mereka memutuskan untuk mampir kembali ke rumah Shinta. Motor mio
putih hitam berhias warna ungu telah siap menemani mereka menembus jalan
panjang 40 Km menuju pusat kota.
Setelah penyelesaikan keperluan
di rumah Shinta, mereka berdua segera bersiap melanjutkan perjalanan. Tak lupa
ibunda Shinta mengingatkan dari beranda rumah agar kami berhati-hati di
perjalanan dan meneliti semua keperluan saat belanja. Diana menuntun motor
mionya keluar pekarangan. Sambil melangkah menuju luar pekarangan, mereka masih
saja asyik bercanda ria. Setibanya di depan pagar dan mereka siap mengarungi
perjalanan, tiba-tiba saja ada suara yang memanggil dari belakang. Mereka pun
melongok dan memperhatikan ke belakang.
“Dank Putra... Dank Fajar...”,
Shinta mengira-ngira.
Mereka pun mengobrol akhirnya,
tentunya dengan khas bahasa Bengkulu.
“Mau kemana Ta?”, Putra menyapa Shinta.
“Bener Dank Putra... Dank
Fajar... Apa kabar Dank? Baru sampai disini?”, tanya Shinta.
“Iya... Alhamdulillah sehat. Baru
tadi pagi sampai sini. Semalam kami di tempat Deffi di Simpang. Kamu gimana
kabar?” Putra balik bertanya.
“Alhamdulillah sehat. Ini mau ke
kota. Ada perlu sedikit. Mau belanja. Gimana kabar Dank Deffi?, Sinta
memastikan kabar teman dekat Putra dan Fajar yang juga telah ia kenal.
“Alhamdulillah sehat dia. Tadi
titip salam dari Deffi sama istrinya”, jelas Putra.
“Ini dari mana? Dari rumah dank
Yayan?”, kambali Shinta bertanya.
“Iya, dari rumah Dank Yayan.
Nggak enak nggak mampir dulu”, jelas Putra.
“Lama Dank Fajar nggak kesini ya
Dank... Jadi sadar kalau Shinta kangen sama Dank. Tambah ganteng aja Dank
Fajar...”, Shinta menyapa Fajar.
“Ah... Bisa aja kamu Ta. Iya,
Dank juga kangen sama keluarga disini. Udah dua tahunan sejak pertama Dank
kesini ya... Gimana bapak sama ibu sehat?, Fajar mencoba akrab kembali dengan
Shinta. Suaranya yang lembut dan sedikit berat menambah aura kewibawaannya.
“Alhamdulillah sehat Dank. Ada
ibu di atas, kalau bapak udah pergi tadi. Mau ke tempat paman katanya. Dank
berdua menjomblo nih kesini?”, jawab Shinta singkat.
“Bisa aja kamu Ta”, jawab Fajar.
Mereka pun tertawa.
Putra - Fajar - Yayan |
Asyik menikmati obrolan, ternyata
ada yang terlupa. Di samping Shinta ada seseorang yang diam tertunduk malu
tanpa berani menatap wajah orang-orang di hadapannya. Menyadari telah melupakan
itu, Shinta membuka kata untuk memperkenalkan Diana.
“Eh, maaf lupa... Ini kenalin
Dank. Ini Diana, temen Shinta. Din, ini Dank Putra, sepupu Teteh yang pernah
Teteh ceritain waktu itu. Nah, kalau yang ini... Mau dikenalin nggak Dank
Fajar?”, Shinta menggoda Fajar dengan kata-katanya yang sedikit manja karena
sebelumnya saat Fajar berkunjung ke Manna, mereka memang telah akrab.
Diana menelungkupkan kedua
telapak tangannya di depan dada untuk menyapa Putra dan Fajar. Sedikit
memandang ke arah orang yang bernama Fajar, entah mengapa hati Diana sedikit
berdetak dan berdegup kencang. Diana hanya menunduk dan berkata seadanya,
berusaha untuk menguasai diri. Namun, tanpa bisa dikuasai hatinya bertanya
mengapa sosok lelaki ini nampak begitu spesial di matanya.
“Astaghfirullah... Ya Allah,
kuatkan aku untuk menjaga hati ini hanya karenaMu”, doa Diana dalam hati.
Begitu juga Putra dan Fajar.
Mereka menelungkupkan kedua tangan di depan dada untuk menyapa Diana. Tanpa
diketahui masing-masing, ternyata Fajar juga merasakan hal yang sama. Terselip
rasa bahagia bisa bertemu gadis semanis Diana, namun ia juga tak berani
menunjukkan ekspresinya berlebihan. Ia hanya menunduk dan sesekali memandang
saat bicara. Mencoba menguasai suasana agar tidak terlihat gugup.
“Astaghfirullah... Mengapa hati
ini begitu bergejolak? Tenangkanlah aku ya Allah. Hanya Engkau sebaik-baik
tempat berteduh badai godaan setan yang menyesatkan hati”, Fajar mencoba
menenangkan diri.
“Eh, masuk dulu aja Dank. Ketemu
ibu dulu”, ajak Shinta.
“Iya, rencananya begitu tadi”,
tegas Fajar.
“Tapi, kalian nggak jadi pergi?”,
tanya Putra.
“Ah bentar lagi aja. Nggak enak
ninggalin tamu yang baru dateng”, canda Shinta seraya menarik Diana masuk ke
dalam rumah.
“Ya udah, gimana kalau bareng
aja?”, ajak Putra.
“Loh, emang Dank mau ke kota
juga? Kan baru sampai juga disini? Nggak capek Dank?”, Diana mencoba mencairkan
suasana agar terlihat lebih akrab dengan sepupu Shinta dan sahabatnya itu.
“Iya, ada yang mau dicari juga”,
jelas Putra.
“Ya udah, yang penting masuk
dulu. Ayo...”, Shinta kembali menarik lengan Diana untuk masuk lebih dahulu.
“Ibu... Bu... Ada dank Putra sama dank Fajar Bu”.
Mereka masuk ke dalam rumah
Shinta. Rumah bernuansa pedesaan dengan bangunan dari kayu dan papan berwarna
coklat kehitaman. Tampak manis dipandang mata dari dekat maupun kejauhan. Rumah
berlantai dua dengan modifikasi modern di bagian bawah yang telah dilapisi
keramik berwarna putih bercampur biru. Di sebelah kanan pekarangan nampak
sebuah pendopo kecil tempat bersantai yang teduh dan dikelilingi bunga taman
berwarna-warni dengan mayoritas hijau. Menenangkan di tengah terik matahari
yang semakin panas. Menambah cerah rasa di hati Fajar dan Diana yang
berbunga-bunga.
Putra menuntun motor mio
kepunyaan diana ke pekarangan. Perjalanan pun tertunda sesaat. Begitulah
tradisi pedesaan yang masih lekat nuansa kekeluargaannya. Sopan santun yang
masih terjaga keasliannya. Silaturahim yang dijunjung tinggi menjadi kekayaan
hati yang terus mendatangkan rasa bahagia.. Kebersamaan dalam keluarga seperti
ini akan menyemaikan kebahagiaan yang tiada bandingannya. Itulah suasana yang
nampak pagi itu.
Akan tetapi, berbeda rasa yang
ada di hati Diana dan Fajar. Diana seolah menemukan mentari yang selama ini ia
cari. Setelah sekian lama menjalani kehidupan sendiri, ia telah memikirkan
bahwa waktu sekarang adalah saatnya ia untuk melanjutkan kehidupannya. Tidak
mungkin ia menjalani kehidupan sendiri selamanya. Agama pun melarang hal itu.
terlebih lagi, kedua orang tuanya telah berkali-kali menanyakan kepastian waktu
Diana untuk berumah tangga.
Saat ini, baru saja titik cerah
itu tampak di hadapannya. Ia menilai lelaki ini adalah lelaki yang sholeh dan
bertanggung jawab. Dari paras wajahnya yang tidak hanya tampan, ia juga dapat
menduga kalau lelaki yang bernama Fajar ini adalah lelaki yang menghargai
perempuan dan cinta keluarga. Hal itu dapat ia duga saat fajar menanyakan kabar
ibunda Shinta.
Perasaan itu berkecamuk di hati
Diana. Bertubi-tubi pertanyaan menghantam hatinya yang tegar selama ini. Namun,
hanya sekejap saja sosok Fajar hampir membuat ia tidak mengenali lagi siapa
dirinya. Walau semua itu tidak tampak di raut wajahnya, tapi ia tidak dapat
membohongi dirinya sendiri.
“Oh Tuhan, diakah yang telah
Engkau tuliskan untuk menjadi imam dalam keluargaku? Mengapa Engkau uji aku
dengan rasa seperti ini di saat aku tengah bimbang akan perasaanku sendiri. Aku
memang telah meminta padaMu agar Engkau segera mempertemukan aku dengan dia
yang telah Engkau takdirkan untuk kudampingi dalam kehidupan ini, tapi jangan
Engkau buat aku menghancurkan hati yang selama ini telah aku jaga untuknya
hanya karenaMu semata”, Diana berdoa dalam hati.
“Ya Allah, seandainya memang dia
yang telah Engkau takdirkan, maka bukakanlah hatiku untuk menerimanya apa
adanya dan tunjukkanlah padaku jalan terbaik untuk kehidupanku yang sesuai
dengan ajaranMu”, Diana melanjutkan. Diana seolah menemukan sosok pangeran
tampan yang selama ini ia impikan untuk menjadi imam dalam rumah tangganya. Ia
berusaha untuk tidak larut dalam buaian harapan hampa belaka. Ia yakin, jika
memang sudah tiba waktunya, maka ia akan bertemu dengan jodohnya dan Allah akan
memberikan segala yang terbaik bagi hamba-hambaNya.
Sementara itu, tak berbeda jauh
dengan Diana, Sang Pangeran di hati Diana, Fajar juga tak kuasa menuntun
hatinya yang berkecamuk. Rasa senang dan takut terus menghantuinya. Ia memang
telah cukup lama hidup sendiri dan telah lama pula berikhtiar untuk mendapatkan
pendamping lagi. Tapi ia sadar kondisinya saat ini. Ia adalah seorang duda
beranak satu. Bukan perjaka seperti dahulu ketika ia bertemu dengan Sang
Permaisuri yang telah meninggalkannya tepat tujuh bulan yang lalu. Sang pujaan
telah pergi karena Allah lebih mencintainya dari pada ia dan keluarganya. Ia
telah ikhlaskan itu semua, tapi, sebagai seorang ayah ia merasa buah hatinya
memerlukan seorang ibu yang dapat mengasuh dan membesarkannya.
“Ya Allah, sungguh aku tidak
ingin menzholimi diriku dan dirinya. Aku sungguh merasa bahagia bisa bertemu
dengannya, tapi aku juga menyadari keadaanku. Aku berharap Engkau memberiku
pendamping dalam hidup dan Engkau pertemukan aku dengan dia. Jika memang dia
yang telah Engkau takdirkan menggantikan pujaan hatiku yang Engkau lebih
mencintainya dari pada aku, maka tunjukkanlah jalannya ya Allah. Tunjukkanlah
jalanMu yang terbaik dan halal. Jangan Engkau biarkan hati ini rapuh dan
tumbang dalam angan dan dosa. Astaghfirullahal’azhimi...”, Fajar berharap dan
berdoa dalam hati.
Keduanya merasakan kebahagiaan sekejap tanpa diketahui oleh satu sama lain. Pandangan mereka tettap terjaga. Dalam berbincang di pendopo itu pun, adab keduanya terjaga secara Islami di tengah keluarga Shinta yang nampak mengetahui perasaan mereka berdua dari raut muka dan sikap keduanya yang mendadak berubah sedikit aneh serta gugup. Perbincangan pun berlanjut.
*******
To be continued...
Dokter Diana (Part 3)
Badai Hati dan Samudra Cinta
Journalism ways...
BalasHapus