Selasa, 23 November 2010

Dokter Diana


Menjemput Impian





...

“Teng… tong…” Bel rumahku berbunyi. 

Tersentak kaget, aku yang baru saja selesai Shalat Dhuha langsung menuju pintu depan rumahku. Aku berharap itu adalah pengantar surat yang aku tunggu-tunggu kedatangannya sejak dua bulan yang lalu untuk mengantarkan surat tanda kelulusanku di perguruan tinggi. Surat yang menyatakan aku lulus tanpa tes dan dengan beasiswa selama studi disana. Di kampus kedokteran Universitas Lampung. Dengan sejuta harapan kubuka perlahan daun pintu di hadapanku. 

“Dian…Apa kabar sayang? Udah lama Tante tidak melihat kamu”. Sapa Tante Rina girang saat menatap wajahku. 

”Tante... Alhamdulillah Dian baik-baik saja Tan”. Jawabku dengan penuh penyesalan. 

Serambi masuk ke dalam, kami pun banyak berbincang. Barang-barang Tante Rina dibawa masuk oleh Pak Halim penjaga kebunku yang sudah hampir separuh usianya dia habiskan bersama keluargaku. Aku pun seolah melupakan apa yang aku harapkan sebelum membuka pintu itu tadi saat berbincang dengan Tante Rina. Tapi, dalam hati, aku berserah diri. Semoga Allah memberiku yang terbaik. 

”Umi kamu mana sayang?” Tante Rina bertanya seraya melongok setiap sudut rumah seperti mencari-cari sesuatu. Namun apa yang dicari ternyata tidak ada. Mungkin Tante sudah sangat rindu pada Umi karena hampir dua tahun mereka tidak bertemu. Sampai-sampai tante tidak melirik aku lagi yang sejak tadi ada di sebelahnya. 

”Umi lagi pergi tante”. Tampak wajah tante yang semula cerah sekilas jadi layu mendengar kata-kataku. ”Tadi katanya Umi mau nganterin sedikit cemil-cemilan ke masjid buat yang lagi gotong royong benerin masjid. Abi juga disana. Udah dari pagi Tan. Mungkin bentar lagi udah sampe rumah. Umi pasti nggak lama”. 

”Oh... begitu. Ya sudah. Nggak apa-apa. Tante senang dengernya”. Jawab tanteku dengan sedikit melebarkan sudut bibirnya. 

”Assalamu’alaikum”. Din...” 

”Ah... itu Umi datang Tante”. Teriakku dengan girangnya. 

Sejurus kemudian aku dan tante sudah di depan pintu dan membukanya. Benar itu Umi. Tanpa berkata-kata tante dan Umi berpelukan melepas rindu mereka yang telah lama terpendam. Dari ujung mata Umi kulihat aliran air mata laksana air terjun yang menderu begitu derasnya. 

”Aisyah... maafkan aku yang tidak pernah menghiraukanmua selama ini”. Ujar tante. 

”Sudah, ayo masuk. Yang penting kamu baik-baik aja toh Rin. Kita ini saudara. Jadi nggak pake maaf-maafan juga pasti udah dimaafin. Mas Imam juga udah maafin kok”. Kamu panjang umur loh Dik. Baru kemarin mas Imam nasehatin aku buat hubungin kamu”. Jelas Umi. 

”O iya Din...” Sapaan mesra Abi dan Umi padaku. 

”Tadi ada pak pos nganterin ini. Katanya buat kamu. Maaf tadi Umi nggak sempat masuk lagi buat ngasihin ke kamu”. 

Bagaikan guntur yang menyambar ke ubun-ubunku. Perasaanku tak dapat aku kuasai. Berjuta perasaan bercampur di hatiku. Apa yang akan aku dapat?. Keberhasilan atau kegagalankah?. Dengan gugup aku buka selembar amplop dari Umi. 

”Aaah.... Umi... aku diterima di Kedokteran...” Aku berteriak girang dan memeluk Umi dan Tante. 

Penantian yang selama ini membuat aku linglung siang dan malam. Akhirnya aku gapai separuh harapan yang terpendam jauh di dalam hati sana. Sujud dan istighfar tak lupa mendampingi derai tangis bahagiaku. 

*** 

Dua minggu berlalu. Tante Rina sudah kembali ke Jakarta tiga hari sebelumnya. Hari ini aku akan ke Unila. Aku akan menjemput separuh lagi harapanku disana. Aku berjanji akan berjuang dengan sepenuh hati. Aku tidak mau mengecewakan Abi dan Umi. Mereka telah berjuang mendidik aku dengan semangat mereka. Saatnya aku tunjukkan aku adalah kebanggan mereka. 

Pagi-pagi, sebelum berangkat, aku disuguhi sarapan oleh Umi. Nasi putih pulen wangi pandan, telor rebus dan sambal kesukaanku, bayam rebus, dan segelas susu. Bersama adik-adikku, Nadhira dan Yusuf, aku melahap semuanya dengan penuh perasaan bahagia. Cita-cita yang sudah di depan mata, keluarga yang bahagia, hidupku yang berkecukupan, dan hari-hari yang cerah menemaniku. 

Selepas sarapan, aku berpamitan pada Umi. Kalo Abi, belum pulang. Biasanya Abi masih di masjid sepagi ini. Jam sembilan setelah Shalat Dhuha baru Abi pulang. Aku akan menemui Abi sebelum pergi. Kebetulan masjidnya akan aku lewati nanti. 

”Assalamu’alaikum. Dian pergi ya Mi”. 

Aku pun berlalu dari hadapan Umi. Senyum manisnya mengiringi langkahku. Menambah semangat dan kebahagiaanku. Perlahan, akhirnya aku tiba di gerbang masjid At Taqwa tempat dimana Abi biasanya bertafakur menghadap Allah. Saat melangkah masuk halaman masjid, aku dikagetkan oleh seekor ular yang tiba-tiba melintas di depanku. Spontan aku panggil Umi. Sejurus kemudian Abi sudah ada di depanku. 

”Din, kenapa sayang?” Abi memelukku yang ketakutan. 

”Ular Bi... Dian takut”. Aku meringis. 

Abi menenangkan aku. Dalam pelukkan hangat Abi, rasa takutku hilang. Kuangkat kepalaku dan kulihat wajah bersih Abi dengan beberapa baris tipis rambut di dagunya. ”Wajah yang manis bercahaya”. Syukurku dalam hati. Tiba-tiba, kagumku pada Abi buyar. Pak Halim telah ada di sebelahku. Dengan terengah-engah Pak Halim menyampaikan maksud kedatangannya. 

”Mas, neng Aisyah... ayo segera pulang”. Ajak Pak Halim. 

Abi berjalan lebih dulu dengan tergesa-gesa. Aku dirangkul dan berjalan bersama pak Halim. Aku tak dapat berkata apa-apa. Perasaan takutku kembali. Pak Halim berujar padaku,”Neng, sing sabar ya... Sabar...” 

Kulihat air matanya berlinangan. Aku tak tahu apa maksudnya. Aku hanya diam dan menunggu saat tiba di rumah. 

Abi menyambutku di depan pintu. Dari wajahnya tampak kesedihan yang ditahan. 

”Sayang,... kamu yang sabar ya... Umi kamu telah tiada. Umi telah dijemput oleh pemilik jiwa raganya”. 

Air mataku tak mampu aku bendung lagi. Semua pikiran tentang cita-citaku hilang entah kemana. Yang ada hanya Umi. Bayang-bayang Umi berkelibat di pikiranku. Aku tak dapat melihat senyumnya lagi. ”Umi,... Umi... Umi...”, hanya itu yang bisa keluar dari bibirku. Umi telah tiada. 

*** 

Tiga minggu sudah kami hidup tanpa Umi. Keceriaan serasa tidak lengkap. Abi jadi lebih akrab di rumah menemani aku dan adik-adikku. Jam kerja pun Abi kurangi demi menemani kami. Aku tak jarang mengajari adik-adikku,”Dik, itu Abi. Sosok teladan masa kini”. Adik-adikku biasanya hanya tersenyum. Entah mengerti atau tidak. Tapi yang jelas mereka bahagia mendengar kata-kataku. 

Kebiasaan rutin mengaji setelah maghrib kini diambil alih oleh Abi. Aku pun semakin kagum padanya. Dalam doa, aku selalu memanjatkan doa,”semoga Allah memberikan pendamping yang terbaik bagiku kelak”. 

Sore itu, setelah mengaji, Abi mengajakku berbincang. 

”Neng,... Abi sedih melihat kamu. Tanpa Umi kamu seperti tak ada harapan. Kamu berubah sayang. Abi tidak melihat semangat tarbiyah kamu yang dulu membuat Abi bangga. Sekarang kamu lebih banyak diam. Menangis saat tahajud. Itu memang baik untuk mengharapkan akhiratmu. Tapi jangan kamu lepas duniamu. Gapailah citamu untuk meningkatkan amalanmu pada Yang Mahakuasa. Berjuanglah. Abi di sampingmu”. 

Air mataku bercucuran mendengar kata-kata Abi. ”Abi, Dian takut tak bisa menjaga adik-adik. Apalagi kalau Abi kerja. Mereka belum banyak mengerti apa-apa”. 

”Nak, Abi sanggup membimbing adik-adikmu. Pak Halim bahkan rela pulang larut malam karena menemani Yusuf. Itu adalah pengorbanan yang tidak boleh kamu abaikan. Masih banyak orang-orang di samping kamu Nak”. 

Kata-kata Abi tak ayal membuatku bangkit. Semangat yang dulu pudar, kini terlecut dan makin menjadi. Aku bertekad melanjutkan harapanku untuk kuliah di kedokteran. 

*** 

Tepat jam tiga pagi aku terbangun. Mataku sembab. Semalam aku menangis lagi mengenang kata-kata Abi. Setelah Shalat Tahajud, aku memikirkan nasehat Abi. ”Abi benar. Aku tidak boleh kalah. Ini hanya ujian kecil bagi keluargaku. Aku yakin bisa menghadapi ini semua. Cita-cita, harapan, dan impian adalah jalan terbaik untukku dalam memperjuangkan kebahagiaan”. 

Akhirnya, aku pun kuliah di Kedokteran Unila. Hari-hari kulalui dengan semangat menggebu. Setiap pelajaran dan ujian menempaku menjadi mahasiswi yang bertanggung jawab dan mengerti sepenuhnya apa yang dosen ajarkan. Teman-teman semuanya akrab padaku. Kuliah dan organisasi kujalani searah. Menjadi delegasi ke tingkat nasional dan internasional pun pernah aku jalani. Kiprahku mengawan bersama harapanku. Kesulitan bisa dibilang nihil. Beasiswa aku dapatkan. ”Ini pasti meringankan beban Abi”, pikirku. Adik-adikku juga menjadi siswa dan siswi berprestasi. Semua berjalan dengan baik. Seolah telah digariskan sebuah perjalanan bagiku dan keluargaku. Kebahagiaan dan kemudahan. 

Sekarang aku tengah berdiri di depan semua orang. Menunggu saat-saat kelulusan dari Kampus Hijau untuk menuju gelar Dokter yang selama ini kuimpikan. 

”Lulusan terbaik tahun ini jatuh kepada..... Dokter Diana Nur Amalia mahasiswi Fakultas Kedokteran Unila dengan predikat Cumlaude”. Namaku dipanggil ke depan. Dengan cucuran air mata aku melangkah ke atas podium. Sorak sorai hadirin membanjiri ruang wisuda. Kusempatkan menoleh ke B5 tempat dimana abi dan adik-adikku menyaksikan keberhasilanku. 

”Aku lulus. Terima kasih ya Rabb. Terima kasih Abi. Terima kasih semuanya”. Ujarku dalam hati. ”Allahu Akbar!”.

Kini saatnya aku jalani saat-saat pengabdianku...

Diana Nur Amalia, dr. 



Oleh: 


Hajri Yansyah (Ibnu Hajar)

Kadin Infokom BEM Fakultas Kedokteran Unila 2008/2009
Kadiv Eksterna Badan Pers Nasional ISMKI 2008-2009
Gubernur BEM Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 2008/2009
Wakil Presiden BEM U KBM Unila 2009/2010
Koordinator Humas dan Media Puskomnas FSLDKI 2010/2012