Senin, 10 Januari 2011

Pemikir yang Tak Berpikir


(13 Juli 2008)

Pemikir yang Tak Berpikir

Perdebatan kolosal pemimpin negeri
Baik tapi tak berhati nurani
Mereka tak berpikir amanah
Tapi cuma harta benda
Siapa yang rugi tak perduli

Mereka tak melihat aksi mereka
Rakyat telah membuntutinya
Pemikirannya telah teracuni
Tidakkah ada yang melihat?

Robbi,…
Ampunilah kami

Sekiranya jasadku dua
Biarlah hanya aku yang berjaya
Tak perlu kawan
Aku tak akan menagih
Biarlah mereka gembira
Asal diri tak selamanya


Hadiah Pelantikan



Bismillaahirrohmaanirrohiimi...

Kisah-kisah teladan memang sangat inspiratif dan menggugah untuk didengarkan dan dihayati. Tapi ini bukan sebuah kisah seperti itu nampaknya. Ini adalah perjalanan duka yang memberikan cukup banyak pelajaran di dalamnya bagiku. Perjuangan antara hidup dan mati, serta ketegaran hidup dari seorang anak manusia. Sebuah kisah nyata di pertengahan 2008 yang kuawali dengan kata "Maaf".


Jumat, 4 Juli 2008

Matahari sedikit redup. Mungkin enggan untuk menampakkan diri. Memang agak dingin hari ini, tapi cukup sejuk untuk para pejalan kaki.

Hari ini, adalah hari pelantikanku sebagai Gubernur BEM di Kedokteran Unila. Bersama tiga orang gubernur dari fakultas lain, sekitar pukul 11 siang, pelantikan berjalan. Kami dilantik oleh Presiden BEM Universitas. Cukup khidmat acara siang itu. Dihadiri lebih kurang seratus lima puluh jiwa. Ramainya…



Itulah hari pertamaku sebagai gubernur mahasiswa di kampus. Walaupun sebenarnya telah beberapa langkah kerja aku kerjakan bersama rekan-rekan. “Amanah telah menanti kawan”, serubut seorang teman setelah pelantikan.

Menjelang malam tiba, usai shalat maghrib, seperti biasa aku pergi makan malam. Di perjalanan, entah ada niat apa, sampai-sampai aku punya niat yang aneh. “Aku mau shalat isya di Wasi’I mulai sekarang”. Kata-kata itu terlontar begitu saja saat keretaku (dalam bahasa medan, sepeda motor) melaju mengitari Kampung Baru. Sejak malam itu, jadilah aku shalat isya di Wasi’i.



Sabtu, 5 Juli 2008

“Tidak banyak yang bisa aku kerjakan sekarang. Mungkin menyelesaikan kepengurusan lebih baik aku kelarkan secepatnya. Tak lama lagi, pasti sudah banyak agenda lain yang harus dikerjakan”. Dalam benakku.

Ya, tidak salah, memang benar seperti itu adanya yang harus kukerjakan. Niat tulus dan ikhlas yang aku patri selalu, agar perjalanan ini semakin bermakna dan berbuah kebaikan.

Detik berganti. Gulita perlahan datang menyelimuti bumi. Seperti keinginanku malam itu, aku ingin shalat isya di Wasi’i. tidak ada yang bisa menghalangi langkah keretaku. Melaju dengan cukup santai, tibalah aku di parkiran masjid yang cukup asri dan lapang. Adzan baru saja berkumandang. Beberapa orang berdatangan dan memasuki rumah Allah itu. Beberapa lagi ada yang mampir ke tampat berwudhu. Tak terkecuali aku, aku juga ikut berwudhu di pelataran depan.

Shalat ditegakkan. Sebagaimana firman Allah,”Akimisshlaata wa aatuzzakaah”. Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Khusuk para jamaah mengheningkan seluruh ruang.

Selesai shalat, aku dikagetkan oleh suara motor (bukan kereta lagi) yang jatuh. Aku kira ada kecelakaan. Tapi setelah itu, sepertinya sudah bangun dan kembali melanjutkan perjalanan. Aku meneruskan shalat rawatib di bagian agak belakang. Syukurlah kalau tidak ada apa-apa padanya (yang kecelakaan), pikirku. Beberapa menit ke depan, setelah mengambil sandal dari rak, “Alhamdulillah”, dibenakku, keinginanku telah tercapai malam ini.

“Bang, tolong Bang. Disana ada yang kecelakaan. Masih menancap di pagar!”, teriak salah seorang mahasiswa yang datang tiba-tiba ke Wasi’i.

“Astaghfirullah”, aku langsung berbalik ke dalam masjid dan menuju arah yang berlawanan bersama beberapa orang lainnya.

Tak kulihat ada siapa-siapa. Yang ada hanya seseorang yang berdiri lemas memegang pagar besi pembatas jalan di depan halte Unila. Tidak ada yang bakal mengira dia terluka parah. Aku pun mengira dia telah bangun dari jatuh dan berdiri memegang pagar besi di depan halte itu.

Perlahan aku mendekat. “Bang tolong Bang”, suara meringis keluar dari seseorang yang ada di hadapanku. Seketika kusingkap jaket berwarna krem kekuningan yang dikenakannya. “Innalillahi,…”.

“Bang, tolongin saya…”, sekali lagi seseorang di hadapanku mengiba.

Demi Tuhan, rasa takut dan ngeri merasuki sekujur tubuhku. Tapi mendengar ringis perih itu, aku tak tega. Kupegangi bahu dan lengannya. “Bang, sabar ya Bang…”, dukungku. Kepalanya ia rebahkan di bahuku. Merah darahnya yang mengotori pakaian, tidaklah sebanding dengan perih yang ia rasakan. Sepuluh menit mungkin ia berdiri tanpa ada yang menopang tubuhnya, meluluhkan rasa takutku. Orang-orang mulai berdatangan, tapi tak banyak yang membantu. Ngeri dan takut darahnya. Mungkin.

“Ya, Allah,… Bang, siapa pun yang ada disini, tolong carikan gergaji besi… tolong Bang”, pintaku pada orang-orang di sekitar tempat itu. Bang, sabar ya, bentar lagi…” Kuat hatiku mendukungnya.

“Bang, tolong Bang,… Sakit banget,…”, ringisnya. “Kakiku tak kuat lagi. Astaghfirullah”.

“Iya.. iya… Sabar ya…, istighfar ya Bang”, aku menguatkan.

Riuh orang-orang yang berdatangan. Ada yang ngeri, ada yang iba, ada yang membantu, dan ada yang tidak peduli sama sekali. Kasihan. Tak lama kemudian, seseorang dating dengan gergaji besinya. Tidak satu, ternyata ada tiga gergaji yang dating. Pagar pun dipotong. Setelah tak ada hasil karena hendak memotong ujung pagar, akhirnya besi berhasil dipotong. Sekitar 80 cm mungkin besi yang masih tergantung diperutnya.

“Bang, gak kuat Bang, mau duduk aja”, pintanya.

“Bawa kesana aja, disana ada kursi”, teriak seseorang.

“Gak mikir tah”, benakku. “Kursinya aja yang bawa kesini Bang, tolong”, pintaku.

“O iya, bener. Bawa kursinya kesini aja”, ungkap seseorang.

Sejurus kemudian, sebuah bangku kayu dengan panjang 1,5 meter telah ada di sampingku. Perlahan aku duduk seraya memegangi tubuhnya. Sesekali dia terus meringis perih. Aku tak tega. Ingin rasanya aku menangis membayangkan jika aku yang sedang terkena musibah itu. Tapi rasa kasihan tak terkalahkan dalam hatiku. Demi menguatkan dia yang sedang sekarat, aku tegarkan hatiku.

”Bang, sabar ya, bentar lagi ada ambulance kemari”.

Lunglai penuh perih. Kata-kata ibanya tak salah meluluhkan perasaan. “Sabar Ji”, semangat seseorang padaku. Dia adalah salah satu rekan yang dilantik bersamaku kemarin. Tangis hanya bisa kutahan. Aku tak ingin menambah ketakutannya. “Kasihan sekali lelaki ini”, pikirku waktu itu.

Lama sudah menunggu, yang diharapkan pun tak kunjung datang. Akhirnya ada sebuah mobil angkot yang melintas di sana. Tanpa pikir panjang, akhirnya aku antarkan dia yang menahan berjuta rasa sakit bersama beberapa orang mahasiswa lainnya yang membantu.

Di perjalanan menuju RS, perdebatan tak dapat dielakkan. Aku harap bisa langsung ke RSUD, tapi teman-teman yang sampai cerita ini selesai aku tulis pun aku tidak kenal memaksa untuk turun di RS swasta yang lebih dekat. Aku pun mengalah. Susah payah dia dikeluarkan dari angkot biru jurusan Tanjung Karang tersebut. Setibanya di ICU, ternyata dokter bedahnya tidak mau membantu. Mereka menyarankan untuk segera merujuk ke RSUD, karena tidak ada yang bertanggung jawab atas pasien.

Pikirku,”beginikah seorang dokter? Tidakkah ada rasa kasihan dan iba atas keadaan saudaraku ini? Aku tidak mau jadi dokter yang seperti ini ya Allah”.

Setelah mendapat sedikit penjelasan aku mengerti keputusan seperti harus diambil. Tak ada yang bertanggung jawab atas pasien. Jika terjadi sesuatu, siapa yang menanggung? Itulah alasannya. Aku pasrah menuruti permitaan tenaga medis-tenaga medis RS itu.

”Bang, tolong tanggungjawabi dulu saya. Tolong Bang. Sakit banget.”, pinta mas Agus.

Pasien itu bernama Agus Haryadi (disembunyikan). Aku hanya bisa mengiyakan permintaannya. Aku menanyakan nomor telepon yang bisa dihubungi dan aku mendapatkannya. Kumintakan teman-teman untuk menghubungi, tapi ternyata ndak bisa juga.

***

Ambulance itu melaju perlahan menuju RSUD Abdul Muluk. Sejurus kemudian, kami tiba dan langsung dibawa masuk ke ruang ICU.

“Kak Hari, tolong temen saya Kak”, sapaku pada salah seorang kakak tingkatku yang tengah coass disana.

“Emang siapanya lo ini Ji?”, tanya kak Hari.

“Saya juga nggak tau sebenernya Kak. Tadi di dekat Wasi’i kejadiannya. Ya, kasihan aja. Ndak ada yang nolongin tadi”, jawabku.

Beberapa kawan yang tetap ikut ke RS malam itu terus menghubungi pihak keluarga melalui nomor telpon yang diberikan Agus. Aneh... Aneh pikirku. Ndak seorang pun kawan-kawan itu yang bisa menghubungi keluarga Agus. Tiba giliranku, eh malah bisa. Mulyono. Begitulah nama yang kudengar dari yang menyahut di seberang sana.

“Mas, sekarang dimana?”, tanyaku pelan.

“Lagi di jalan. Ada apa Mas?”, tanya Mulyono.

“Mas yang sabar yah. Bisa ke RS sekarang nggak?”.

“Kenapa?”, tanyanya lagi.

“Mas, Agus, kakaknya Mas Mulyono kecelakaan. Sekarang di RS Abdul Muluk. Bisa segera kesini?”, jelasku.

“O iya Mas... Saya segera kesana”.

***

Kami hanya terdiam saja melihat tetesan darah dari tubuh Agus. Tapi dia tetap sadar. Walau sudah tidak kuat, tapi tetap menyahut dan bergerak. Kateter dipasangkan, antibiotik dan beberapa obat juga segerea diberikan.

“Kak, selanjutnya gimana?”, tanyaku pada kak Hari.

“Dokternya baru ada besok. Ini nggak apa-apa”, jelas kak Hari.

..............

(To be continue...)

Keys:...